Kurikulum Merdeka: Kebebasan atau Pengarahan yang Hilang?

Kurikulum Merdeka: Kebebasan yang Membingungkan atau Pengarahan yang Hilang?

CampusNet – Demi mewujudkan Indonesia yang lebih maju dalam bidang pendidikan. Menteri Pendidikan telah mengupayakan berbagai hal, terutama untuk meningkatkan kualitas para siswa Indonesia. Salah satu program yang telah kita ketahui adalah Kurikulum Merdeka.

Kurikulum Merdeka menggantikan Kurikulum 2013 (K13) dan terinspirasi dari Kurikulum Darurat, yakni versi sederhana dari K13. Kurikulum ini bertujuan untuk memberikan kebebasan yang lebih besar kepada siswa dan pendidik dalam proses pembelajaran. Pembelajaran ini berfokus pada pengembangan kompetensi siswa, kemandirian, serta kreativitas.

Secara keseluruhan, Kurikulum Merdeka bertujuan untuk menciptakan sistem pendidikan yang lebih relevan dengan perkembangan zaman. Hal ini didukung oleh pengembangan kompetensi abad 21, serta menyiapkan generasi yang lebih mandiri, kreatif, dan adaptif terhadap perubahan.

Namun, bagaimana mungkin kurikulum ini justru menuai banyak kritik dan memerlukan pembenahan?

Kurikulum Merdeka Yang Bebas Atau Justru Tidak Terarah?

Kurikulum Merdeka memiliki tujuan yang sangat baik jika mampu mencapai target yang telah pemerintah tetapkan. Namun, kenyataannya banyak siswa yang salah memahami konsep kebebasan tersebut. Mereka cenderung mengartikan kebebasan sebagai peluang untuk bertindak sesuka hati dalam hal belajar. Bukan sebagai dorongan untuk aktif mencari pengetahuan melalui bertanya atau menggali informasi di internet.

Memang benar bahwa kesadaran untuk belajar adalah tanggung jawab individu. Namun, hal ini tidak bisa menjadi pembenaran atas sikap sebagian siswa yang meremehkan belajar dengan alasan bahwa keputusan sepenuhnya ada di tangan mereka. Tanpa arahan yang jelas, banyak siswa justru terjebak dalam pola malas belajar.

Mereka menganggap belajar sebagai hal yang tidak penting, dan kehilangan motivasi untuk memperluas wawasan mereka.

Pengarahan Adalah Pengekangan?

Kurikulum Merdeka, yang masih dalam tahap percobaan dan penyesuaian, menghadapi kritik, terutama terkait beban yang para guru hadapi. Guru kini tidak hanya memiliki beban tugas administratif dalam pembuatan modul ajar yang sebelumnya fleksibel tetapi juga wajib mencantumkan istilah spesifik seperti pembelajaran yang terdisiplin positif. Akibatnya, modul ajar lebih berfokus pada formalitas redaksional daripada mendukung kreativitas pengajaran.

Masalah lainnya muncul ketika metode pengajaran guru tidak sesuai dengan preferensi siswa, hal ini justru menjadi kegagalan usaha sang guru. Sebaliknya, jika siswa tidak memahami materi dengan baik, guru tetap menjadi pihak yang salah sehingga dengan jelas memperlihatkan ketimpangan dalam kesejahteraan.

Situasi ini menimbulkan banyak pertanyaan. Upaya guru untuk memberikan pengarahan demi menciptakan siswa yang berkualitas justru dianggap sebagai pengekangan. Alasan lainnya adalah pengarahan ini merupakan batasan ruang siswa untuk berpendapat atau mengeksplorasi diri. Namun, pertanyaan besar yang perlu dijawab adalah mengapa pemberian kebebasan sepenuhnya kepada siswa, sementara guru justru mendapatkan batasan dalam mengarahkan siswanya?

Terlalu Bebas Tumpul Kritis

Merdeka dalam artian bebas memang memberikan siswa ruang untuk berpendapat, namun jika kebebasan ini bermakna terlalu luas, apakah hasilnya akan selalu positif? Inilah yang menjadi pertanyaan besar terkait Kurikulum Merdeka. Walaupun memberikan ruang untuk siswa menyampaikan pendapat adalah langkah baik, tidak semua siswa memanfaatkan kebebasan tersebut untuk mengasah pemikiran kritis mereka. Tanpa struktur dan bimbingan yang jelas, siswa kehilangan peluang untuk menganalisis, mengevaluasi, dan memecahkan masalah secara mendalam. Akibatnya, mereka cenderung mengambil jalan pintas atau bahkan mengabaikan proses belajar, yang pada akhirnya melemahkan kemampuan berpikir kritis mereka.

Ketika konsep dasarnya adalah Merdeka Dalam Belajar, idealnya siswa diberikan kebebasan untuk mengeksplorasi potensi dan kreativitas mereka dalam belajar. Namun, sayangnya, eksekusinya justru sering berubah menjadi Merdeka Dari Belajar, di mana kebebasan yang diberikan disalahartikan sebagai kebebasan untuk tidak belajar. Ini menimbulkan kesan bahwa tanggung jawab terhadap proses belajar menjadi terabaikan, yang justru bertentangan dengan tujuan awal kurikulum tersebut.

Pada akhirnya, penerapan konsep merdeka seharusnya dengan mengedepankan asas norma dan keadilan untuk mencapai kesetaraan. Hal ini penting agar tidak terjadi kesenjangan di mana siswa yang “pintar” menjadi semakin unggul, sementara mereka yang “acuh” tetap berada dalam ketidakpedulian.

Besar harapannya bahwa dengan rencana pengkajian ulang Kurikulum Merdeka, Kemendikbud akan merevisi kekurangan yang ada dan menawarkan solusi yang lebih adil serta menyejahterakan baik siswa maupun guru.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *