CampusNet – Penerimaan pajak Indonesia mengalami penurunan drastis akibat turunnya harga komoditas global. Pada Januari dan Februari 2025, penerimaan pajak turun 30,2%, menyebabkan defisit anggaran sebesar 31,2 triliun rupiah. Hal ini memunculkan pertanyaan mengenai kesiapan pemerintah dalam menghadapi fluktuasi ekonomi global.
Kebijakan Pajak yang Gagal Mengantisipasi Risiko
Salah satu faktor utama penurunan penerimaan pajak adalah ketergantungan pemerintah pada sektor pertambangan dan perkebunan. Harga batu bara dan minyak kelapa sawit yang merosot membuat pendapatan perusahaan anjlok, mengurangi kontribusi pajak penghasilan badan. Pemerintah tampaknya gagal merancang kebijakan terversifikasi sumber pendapatan negara untuk mengatasi ketergantungan ini.
Reformasi Pajak yang Tidak Efektif
Meskipun pemerintah telah melakukan perubahan dalam metode pengumpulan pajak, hasilnya justru menunjukkan penurunan penerimaan. Banyak pengamat menilai bahwa kebijakan ini tidak memperhitungkan dampak ekonomi secara menyeluruh. Alih-alih memperbaiki sistem, reformasi yang ada justru membebani pelaku usaha dan masyarakat kelas menengah dengan pajak yang lebih tinggi.
Langkah Darurat: Apakah Cukup?
Untuk menutupi defisit, pemerintah berencana menaikkan tarif royalti bagi penambang dan mengurangi subsidi bahan bakar. Namun, kebijakan ini menuai kritik karena dapat membebani industri yang sudah terdampak penurunan harga global. Selain itu, penghapusan subsidi bahan bakar bisa berdampak langsung pada daya beli masyarakat, memperburuk kondisi ekonomi nasional.
Kesimpulan: Perlunya Kebijakan Pajak yang Berkelanjutan
Penurunan penerimaan pajak akibat turunnya harga komoditas menunjukkan perlunya reformasi fiskal yang lebih matang. Pemerintah harus lebih proaktif dalam merancang kebijakan pajak yang tidak hanya bergantung pada sektor tertentu, tetapi juga memperhitungkan keberlanjutan ekonomi jangka panjang. Tanpa langkah konkret dan terukur, Indonesia berisiko menghadapi ketidakstabilan ekonomi yang lebih besar di masa depan.