RUU TNI Memanas! Dwifungsi ABRI Kembali Dibahas, Ancaman Demokrasi?

Dwifungsi ABRI, Ancaman Demokrasi?

CampusNet – Rapat Panitia Kerja (Panja) Komisi I DPR RI bersama Pemerintah terkait Revisi Undang-Undang (RUU) TNI di Hotel Fairmont, Jakarta, baru-baru ini menuai sorotan tajam. Pasalnya, sekelompok masyarakat yang mengatasnamakan diri dari Koalisi Reformasi Sektor Keamanan mendesak agar rapat yang digelar tertutup itu dihentikan. Tak hanya itu, isu dwifungsi ABRI pun kembali mencuat, memicu perdebatan sengit di kalangan masyarakat. Lantas, apa sebenarnya dwifungsi ABRI itu? Mengapa isu ini begitu sensitif dan dikhawatirkan dapat mengancam fondasi demokrasi Indonesia?

Dwifungsi ABRI: Konsep “Jalan Tengah” yang Kontroversial

Dwifungsi ABRI adalah konsep yang memuat dua fungsi sekaligus bagi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Pertama, ABRI berperan sebagai kekuatan pertahanan dan keamanan negara. Kedua, ABRI juga berperan sebagai kekuatan sosial politik, dengan kata lain, ABRI turut aktif dalam pembangunan dan pemerintahan.

Konsep ini pertama kali dicetuskan oleh Jenderal AH Nasution pada tahun 1958, yang kemudian mendapatkan landasan yuridis konstitusional pada era Orde Baru melalui Ketetapan MPRS No II Tahun 1969. Tujuan awalnya adalah untuk mewujudkan stabilitas nasional yang dinamis. Namun, dalam perkembangannya, dwifungsi ABRI justru menuai banyak kritik dan kontroversi.

Sejarah Dwifungsi ABRI: dari Gagasan Awal hingga Penolakan Masyarakat

AH Nasution memperkenalkan konsep dwifungsi ABRI sebagai “jalan tengah,” yang berbeda dari model Barat di mana militer hanya sebagai alat sipil, dan model rezim militer yang memegang kekuasaan. Menurut Nasution, TNI adalah kekuatan sosial, kekuatan rakyat yang bahu-membahu dengan kekuatan rakyat lainnya. Akan tetapi, penerapan konsep ini di era Orde Baru justru menuai banyak tentangan.

Pada masa Orde Baru, TNI/Polri mendapatkan jatah di lembaga-lembaga politik seperti DPR dan MPR melalui penunjukan dan pengangkatan, tanpa melalui pemilihan umum. Kondisi ini dianggap tidak lazim dalam negara demokrasi. Selain itu, keberpihakan ABRI kepada Golkar pada masa itu juga memicu aksi antipemerintah dari mahasiswa.

Berbagai kritik pun bermunculan, mulai dari tokoh masyarakat, intelektual, mahasiswa, bahkan dari kalangan militer sendiri. Salah satunya adalah Seskoad Paper, yang mendesak ABRI untuk menahan diri dari keberpihakan dalam pemilihan umum. Mahasiswa pun memasang poster dan menulis kaos dengan kalimat “Kembalikan ABRI kepada Rakyat”, sebagai bentuk protes terhadap ABRI yang dianggap sudah jauh dari rakyat dan menjadi milik Soeharto dan Golkar.

Reformasi 1998: Dwifungsi ABRI Dihapuskan, Demokrasi Ditegakkan

Setelah Soeharto lengser pada tahun 1998, BJ Habibie yang menggantikan posisinya langsung melakukan reformasi di berbagai bidang, termasuk reformasi dalam tubuh ABRI. Pada era awal reformasi itu, konsep dwifungsi ABRI secara substansial bertentangan dengan tuntutan dan semangat global ke arah demokratisasi.

Oleh karena itu, pada 5 Mei 1999, POLRI dipisahkan dari ABRI. Kemudian ABRI yang terdiri dari Angkatan Darat (AD), Angkatan Laut (AL), dan Angkatan Udara (AU) berubah nama menjadi TNI. Dengan demikian, dwifungsi ABRI secara resmi dihapuskan, membuka jalan bagi tegaknya demokrasi di Indonesia.

RUU TNI: Mengembalikan Dwifungsi ABRI Secara Terselubung?

Kini, isu dwifungsi ABRI kembali mencuat seiring dengan pembahasan RUU TNI di DPR. Beberapa pihak khawatir bahwa RUU TNI berpotensi mengembalikan dwifungsi ABRI secara terselubung, dengan memberikan kewenangan yang terlalu luas kepada TNI dalam ranah sipil.

Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara FSH UINSA Surabaya, Titik Triwulan Tutik, memberikan catatan kritis terkait RUU TNI, Polri, hingga Kejaksaan. Menurutnya, RUU tersebut bukan bersifat memperkuat pengawasan, tetapi justru berlomba-lomba menambah kewenangan masing-masing. Ia juga menyoroti ketentuan yang membuka peluang prajurit aktif mengisi jabatan di semua kementerian atau lembaga, seperti pada masa pemberlakuan dwifungsi ABRI di era Orde Baru.

Ancaman bagi Demokrasi: Dwifungsi ABRI Tidak Boleh Kembali!

Direktur Eksekutif Amnesty Universitas Negeri Semarang (Unnes), Raihan Muhammad, berpendapat bahwa mengembalikan dwifungsi ABRI merupakan langkah mundur bagi bangsa Indonesia. Menurutnya, keberadaan dwifungsi ABRI bisa menimbulkan campur tangan militer dalam urusan sipil, yang berpotensi menyebabkan penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

Raihan menekankan bahwa TNI seharusnya fokus pada agenda reformasi institusinya, yang bertujuan memperkuat profesionalisme dan efektivitas militer, bukan terlibat dalam urusan sipil yang seharusnya menjadi domain pemerintahan sipil.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa isu dwifungsi ABRI masih sangat relevan untuk dibahas dan dikritisi. Masyarakat sipil perlu terus mengawal pembahasan RUU TNI agar tidak mengancam fondasi demokrasi yang telah dibangun dengan susah payah. Pengalaman masa lalu harus menjadi pelajaran berharga agar Indonesia tidak kembali ke era kelam di mana militer memiliki kekuasaan yang terlalu besar dalam urusan sipil.

Baca juga: Indonesia Gelap atau Sudah Gelap?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *