Kecerdasan Imitasi Melunturkan Nilai Pendidikan

CampusNet – Penggunaan kecerdasan imitasi (AI) memberi polemik bagi di dunia pendidikan. Pelajar diundang untuk terbuka terhadap kemajuan dan memanfaatkannya. Alih-alih memanfaatkan, ChatGPT dan aplikasi sejenisnya menjadi wahana menyelesaikan tugas sekolah maupun kuliah secara instan. Bagaimana kecerdasan ini bisa merusak nilai-nilai pendidikan bila tidak disikapi secara etis dan kritis?

Membuka buku untuk menjadi basis menulis tulisan adalah tindakan kuno. Di sektor pendidikan, kebanyakan pelajar cukup mengandalkan perintah tertulis pada model bahasa untuk memperoleh tanggapan (prompt). Lalu, serahkan seutuhnya pada kapabilitas AI untuk membuat keseluruhan tulisan dan cukup copy paste. Agar tidak terlalu mencolok saat naskah diperiksa, parafrase adalah solusi. Belum lagi dengan fitur humanize text yang memberanikan setiap pelajar mempercayakan AI dalam mengerjakan tugas.

Apakah relevan mempertanyakan kesulitan saat mempunyai tugas berjenis tulisan? AI menjadi sahabat terdekat untuk mendelegasikan tugas seperti itu. Untuk menanggapi kemajuan ini, kemudahan bukan lagi respons yang relevan. Ini sudah terkait kepercayaan dan internalisasi AI dalam kehidupan pelajar. Survei Tirto bersama Jakpat pada 2024 menunjukkan, dari 1.501 responden terdiri dari siswa SMA dan mahasiswa sebanyak 46,8 persen sering dan sangat sering menggunakan AI untuk mengerjakan tugas. Hanya ada 13,7 persen  responden yang belum pernah memanfaatkan AI. Ini menandakan kecerdasan buatan bukan lagi elemen subsider dalam memahami sesuatu, namun sarana utama menuntaskan pekerjaan.

Dampak Penggunaan Kecerdasan Imitasi

Pada Juni 2025, (MIT) meluncurkan laporan penelitian “Your Brain on ChatGPT: Accumulation of Cognitive Debt when Using an AI Assistant for Essay Writing Task”.  Para partisipan menulis esai dengan topik berbeda dalam tiga sesi. Mereka dibagi menjadi tiga kelompok. Ada kelompok yang menggunakan LLM, mesin pencari, dan pemikiran sendiri dalam menghasilkan tulisan.

Grup yang menggunakan otak keseluruhan memperlihatkan konektivitas otak yang lebih kuat. Ada kekuatan memori yang dihadirkan, orisinalitas, dan penggunaan makna bahasa yang sesuai. Meski terdapat beban kognitif selama pengerjaan, kelompok ini memperlihatkan kedalaman dalam pembelajaran dan otentisitas karya.

Berbeda dengan kelompok yang memanfaatkan ChatGPT. Mereka memperoleh efisiensi waktu pengerjaan, namun cenderung lemah dalam menampakkan kekuatan memori  mengenali diri – terkait otentisitas karya – dan struktur penulisan yang tidak memiliki benang merah antarbagiannya. Para peneliti dalam menyimpulkan, meski, mungkin menghasilkan penulisan yang cepat, namun tidak mampu memproses pengetahuan dan pemikiran yang dimiliki untuk dituangkan dalam tulisan.

Lunturnya Nilai Pendidikan

Tentu, pemanfaatan kecerdasan imitasi untuk mengerjakan tugas bisa berimplikasi pada keenganan pelajar memahami secara tekun bahan pembelajaran. Olah pikir dan rasa yang menjadi proses individu dalam pendidikan bisa stagnan bahkan dekaden. Kemampuan individual yang bisa diukur dengan menulis lalu bisa menghasilkan bias. Tulisan bisa cenderung manipulatif dengan menihilkan orisinalitas penulis namun berhasil memenuhi kriteria.

Perilaku ketergantungan AI mampu merusak nilai-nilai pendidikan, seperti kejujuran, kemandirian, kreativitas, dan kerja keras. Pelajar semakin sulit mengakui ketidaktahuannya. Tugas dituntaskan tanpa proses kreatif dengan analisa secara mandiri atau memiliki sikap atau pendapat terhadap suatu masalah. Karena kecepatan, usaha untuk mengukur dan menantang kemampuan diri kian melemah. Maka dalam konteks pendidikan, pemanfaatan AI perlu diletakkan pada koridor yang tepat.

Ruang idealisasi untuk membangun koridor pemanfaatan AI perlu melibatkan penelitian lebih lanjut, terutama di Indonesia. Jarang menjumpai  penelitian skala luas terkait dampak penggunaan AI di kalangan pelajar. AI memberi manfaat sekaligus celaka. Keberpihakan pada prinsip perlu diutamakan selagi digitalisasi proses belajar tetap digalakkan.

Solusi nyata untuk menanggapi masalah ini adalah memberi konsern pada penelitian persebaran pengguna dan dampak penggunaan AI di kalangan pelajar. Dengan kelengkapan data itu, maka dapat ditentukan jenjang pendidikan dan lokasi yang bisa jadi prioritas penanganan. Regulasi untuk pemanfaatan kecerdasan ini dalam pendidikan juga perlu menjadi perbincangan di level birokrasi. Ketepatan regulasi bisa menetapkan perbedaan antara tindakan etis atau tidak dalam pemanfaatan AI.

Data dan regulasi yang jelas bisa menjadi basis pengambilan keputusan yang relevan bagi setiap lembaga pendidikan. Setiap lembaga perlu mengamati secara faktual keberlangsungan penggunaan AI. Langkah-langkah kreatif dari sekolah pun bisa dilakukan untuk tetap mengarahkan pelajar pada capaian nilai-nilai dalam pendidikan.

Baca juga: Artificial Intelligence dan Dunia Kerja : Persiapan Mahasiswa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *