CampusNet – Kepemimpinan perempuan di kampus terus tumbuh, meskipun belum selalu mendapat sorotan. Di banyak organisasi mahasiswa, mahasiswi aktif menyusun program, mengelola divisi, dan menyelesaikan konflik internal. Namun saat pembicaraan mengarah pada posisi ketua atau pemimpin tertinggi, nama-nama perempuan masih sering dilewatkan. Padahal, mereka memiliki kapasitas yang sama, bahkan kadang lebih terasah karena terbiasa bekerja detail dan penuh tanggung jawab.
Sayangnya, anggapan usang seperti “kurang tegas” atau “terlalu emosional” masih membayangi langkah perempuan dalam mengambil peran pemimpin. Padahal, ruang untuk memimpin tidak lagi terbatas. Kampus telah membuka peluang seluas-luasnya bagi siapa pun yang siap melangkah, termasuk perempuan. Yang dibutuhkan bukan persetujuan orang lain, tapi keberanian untuk mengambil tempat yang memang layak diisi.
Organisasi di kampus bukan sekadar ruang ekstra di luar kelas. Mahasiswa menjadikannya tempat belajar bersuara, menyusun strategi, dan memahami arti tanggung jawab. Dari ruang rapat kecil hingga panggung pemilihan ketua, dinamika organisasi mengasah karakter dan mental kepemimpinan. Namun, saat perempuan muncul sebagai calon pemimpin, keraguan masih saja muncul.
“Bisa tegas nggak ya?”
“Nanti kalau sensitif gimana?”
Komentar semacam itu terdengar lebih sering daripada pujian atau dukungan. Padahal, banyak mahasiswi telah membuktikan bahwa mereka bisa memimpin dengan tenang, rasional, dan tidak kalah efektif dari rekan laki-laki.
Perempuan Sudah Lama Hadir, tapi Sering Diabaikan
Banyak orang menyaksikan kontribusi mahasiswi dalam organisasi, tetapi tidak semua memberi ruang kepemimpinan untuk mereka. Perempuan aktif membuat proposal, menyusun desain, membentuk agenda, bahkan memediasi konflik antaranggota. Tapi saat organisasi memilih pemimpin, nama mereka jarang muncul di urutan teratas.
Sebagian mahasiswa masih memegang anggapan bahwa laki-laki lebih cocok mengarahkan organisasi. Mereka menyamakan kepemimpinan dengan suara lantang, gestur tegas, atau aura dominan.
Perempuan tidak selalu tampil dengan gaya seperti itu. Mereka cenderung mendengarkan lebih banyak, memahami situasi secara menyeluruh, lalu mengambil keputusan dengan hati-hati. Gaya memimpin ini berbeda, tapi bukan berarti lemah. Justru gaya seperti inilah yang sering kali menjaga ritme organisasi tetap stabil dan sehat.
Kepemimpinan Perempuan Tidak Harus Keras
Seorang pemimpin tidak harus berteriak agar didengar. Banyak perempuan memilih berbicara seperlunya, memberi ruang diskusi, dan memfasilitasi anggota agar tumbuh bersama. Mereka tetap membuat keputusan dengan tegas, tetapi tidak menciptakan suasana yang menekan.
Saat divisi terlambat setor laporan, mereka tidak langsung menegur di grup besar. Mereka menghubungi secara personal, mencari tahu sebabnya, dan mencari solusi bersama. Sikap ini menciptakan rasa saling percaya dalam tim. Anggota merasa dihargai, bukan ditakut-takuti.
Gaya kepemimpinan seperti ini justru membentuk iklim organisasi yang aman dan manusiawi. Mahasiswa jadi lebih berani menyampaikan ide, tidak ragu bertanya, dan tidak takut salah.
Ruang Itu Ada, tapi Tidak Semua Orang Mau Membukanya
Mahasiswi yang mencalonkan diri sebagai ketua seringkali harus bekerja dua kali lebih keras untuk dianggap layak. Mereka menghadapi ekspektasi ganda: harus tampil tegas, tetapi jangan terlalu dominan. Harus kuat, tapi tetap “feminim.” Harus vokal, tapi jangan terkesan bossy.
Namun banyak dari mereka tetap memilih maju. Mereka mengikuti pemilihan dengan penuh pertimbangan dan keyakinan. Mereka memimpin rapat, menyusun strategi gerakan, dan menyelesaikan program kerja, sambil tetap menjaga kuliah, kesehatan mental, bahkan pekerjaan paruh waktu.
Kepemimpinan mereka lahir dari kesadaran akan tanggung jawab, bukan dari keinginan untuk tampil. Mereka hadir karena tahu organisasi butuh cara pandang baru, cara kerja yang kolaboratif, dan pemimpin yang mendengarkan.
Satu Perempuan Memimpin, Banyak yang Berani Maju
Kepemimpinan perempuan di kampus menciptakan efek domino. Ketika satu perempuan tampil dan berhasil, perempuan lain mulai percaya bahwa mereka juga bisa. Banyak yang mulai mengambil peran di bidang strategis, bukan lagi hanya di belakang layar.
Mahasiswa laki-laki pun belajar menyesuaikan diri. Mereka mulai melihat bahwa keberhasilan organisasi tidak tergantung pada satu gaya kepemimpinan saja. Mereka menyadari bahwa pemimpin bukan hanya yang bersuara paling lantang, tetapi yang bisa menyatukan tim.
Kehadiran perempuan di posisi ketua, koordinator, dan direktur program membawa angin segar. Budaya organisasi bergerak ke arah yang lebih setara dan saling menghargai.
Kampus Butuh Lebih Banyak Perempuan Pemimpin
Organisasi kampus membutuhkan pemimpin yang berani bersikap, tapi juga berani mendengarkan. Butuh ketegasan, tapi juga empati. Butuh ketahanan menghadapi konflik, tapi juga kemampuan menjaga suasana agar tetap sehat.
Perempuan membawa semua itu ke dalam organisasi. Mereka tidak sekadar menyelesaikan program kerja, tetapi juga membangun atmosfer yang aman bagi setiap anggota.
Ruang kepemimpinan di kampus sudah ada. Namun tidak semua perempuan merasa berhak atau cukup berani untuk mengambilnya. Padahal ruang itu terbuka. Siapa saja bisa masuk dan memimpin, selama ia siap belajar, tumbuh, dan bertanggung jawab.
Kepemimpinan perempuan di kampus bukan mimpi. Banyak yang sudah memulai langkahnya, dari skala kecil hingga skala besar. Mereka hadir bukan karena ingin terlihat hebat, tetapi karena ingin menciptakan perubahan.
Jika kamu merasa ingin berkontribusi lebih, jangan menunggu disuruh. Ajukan diri. Ambil posisi. Arahkan gerakan. Kampus adalah ruang awal untuk siapa pun yang ingin memimpin, termasuk kamu.
Baca artikel lainnya: Mau Jadi Pemimpin? Kuasai Dulu Skill Self Leadership