CampusNet – Belakangan ini, gaya hidup aesthetic semakin populer di kalangan mahasiswa. Tren ini identik dengan rutinitas yang rapi dan momen-momen sederhana yang ditata indah. Namun, gaya hidup ini menyimpan makna lebih dari sekadar estetika visual. Artikel ini akan membahas 4 hal yang perlu kamu renungkan tentang gaya hidup aesthetic.
1. Munculnya Tekanan
Tren aesthetic sering kali menampilkan hal-hal sederhana: cahaya matahari pagi, sudut kamar yang bersih, atau buku-buku tertata rapi. Tapi dalam praktiknya, banyak mahasiswa merasa perlu membeli barang tertentu agar terlihat “aesthetic”. Mulai dari standing desk, tumbler kekinian, stationery Korea, sampai dekorasi kamar minimalis. Lama-lama, aesthetic menjadi mahal.
Tekanan untuk “menyamai” standar aesthetic di media sosial bisa muncul tanpa sadar. Melihat konten teman yang kamarnya rapi dan stylish bisa membuat kita merasa kurang. Bahkan, membeli barang pun kadang bukan karena butuh, tapi karena ingin tampil cocok di feed.
2. Hidup Demi Konten, Bukan Kenyataan
Di era digital, batas antara kehidupan nyata dan konten makin kabur. Mahasiswa kini merasa perlu mendokumentasikan setiap momen agar terlihat menarik di media sosial. Mulai dari rutinitas pagi, belajar di perpustakaan, ngopi di kafe, sampai unboxing barang belanjaan.
Hal ini membuat aktivitas harian sering kali dijalani hanya agar bisa di-posting. Kita sibuk mencari angle terbaik, lighting yang pas, hingga menyusun narasi estetik. Akibatnya, spontanitas di momen tersebut bisa hilang.
3. Gaya Hidup Aesthetic Bisa Jadi Ruang Aman
Meski sering dikritik karena menimbulkan tekanan sosial, gaya hidup aesthetic sebenarnya bisa jadi bentuk self-care. Bagi sebagian mahasiswa, ini menjadi ruang aman di tengah rutinitas kuliah. Menata kamar dengan warna favorit, menulis jurnal, atau membuat playlist tenang bisa memberi rasa nyaman dan kontrol.
Selain itu, di tengah dunia kampus yang kompetitif, suasana rapi dan tenang membantu menjaga kewarasan. Sebab, mengatur benda di sekitar bukan sekadar soal tampilan. Tapi juga cara untuk merawat diri, membangun rutinitas yang stabil, dan mengurangi kecemasan.
4. Ekspresi Diri, Bukan Kompetisi Gaya
Pada akhirnya, gaya aesthetic seharusnya menjadi bentuk kebebasan berekspresi. Setiap orang punya preferensi visual dan gaya hidup yang berbeda. Sayangnya, budaya aesthetic sering berubah menjadi kompetisi ‘diam-diam’.
Kompetisi ini bisa membentuk standar baru yang justru menyulitkan. Padahal, ekspresi diri yang otentik seharusnya membebaskan, bukan membandingkan. Bagaimana menurutmu?
Penutup
Gaya hidup aesthetic bukanlah masalah, dan tidak semua yang viral harus dihindari. Namun, penting untuk tetap kritis dan sadar terhadap alasan di balik pilihan gaya hidup kita. Jangan sampai estetika yang seharusnya bikin tenang, justru membuatmu kelelahan karena terus mengejar tampilan yang “sempurna”.
Baca juga: Pentingnya Kesehatan Mental bagi Mahasiswa di Era Digital