Kenaikan Tunjangan DPR: Hiraukan Pendidikan

CampusNet – Melihat suatu “pendanaan” bekerja dalam suatu kebijakan cukup memilukan. Di hadapan gedung “pilihan” rakyat, Gedung DPR, gerakan yang menyatakan diri sebagai Gerakan Mahasiswa Bersama Rakyat dan Revolusi Rakyat Indonesia, meluapkan kandungan pilu dan tragis terhadap kenaikan tunjangan DPR. Bukan semata-mata karena kenaikan, namun juga soal pandangan terhadap rakyat.

Pertanyaan yang penulis pikir bisa ajukan adalah: apa urgensi kenaikan ini? Tidak ada basis kerisauan yang sungguh patut diberi perhatian. Harga rumah di kawasan Jakarta dan Bodetabek memang tinggi. Harga rata-rata bisa ratusan 20-an juta bahkan miliaran. Bila membeli rumah dengan ukuran dan luas 60 meter persegi bisa mencapai 2 miliar di Jakarta, menurut OLX Indonesia.

Untuk membeli rumah, baru, harga yang dicanangkan DPR terasa make sense. Tapi, apakah akumulasi tunjangan itu tidak cukup membenahi perumahan DPR RI di Kalibata, yang hanya perlu untuk merevitalisasi bagian-bagian yang rusak? Kembali lagi, ini soal bagaimana kemampuan negara dimanfaatkan untuk keperluan masyarakat luas. Jangan sampai negara yang “kaya” – bukan semata-mata kekayaan alam, namun pajak – memanfaatkan itu semua demi kepentingan kelompok tertentu.

Merujuk pada catatan ringkas Kompas, kontroversi dari percakapan dan mata di publik, kenaikan ini tidak sepadan dengan hasil kerjanya. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan dalam konferensi pers RAPBN 2025, program-program strategis nasional pemerintah menyerap ketersediaan dana pada 2026. Pegawai negeri sipil pun tidak mendapat kenaikan gaji.

Hal ini mencuat setelah pernyataan dari anggota Fraksi PDI Perjuangan, TB Hasanuddin, yang menyebutkan bahwa penghasilan bersih anggota DPR dapat melebihi Rp 100 juta per bulan. Kenaikan tersebut terjadi karena pada periode 2024–2029, anggota DPR tidak lagi menerima fasilitas rumah dinas, melainkan diberikan tunjangan perumahan yang nilainya sekitar Rp 50 juta setiap bulannya.

Jika ditinjau lebih jauh, biaya pendidikan di Indonesia semakin naik setiap tahunnya. Universitas negeri sekalipun, yang mestinya menjadi alternatif terjangkau, kini membebankan Uang Kuliah Tunggal (UKT) dalam jumlah besar. Mahasiswa dari daerah harus membayar biaya transportasi, sewa tempat tinggal, hingga kebutuhan buku yang tidak sedikit. Dengan kondisi ini, publik wajar mempertanyakan arah prioritas keuangan negara. Ketika anggaran justru mengalir ke tunjangan kenaikan DPR, apakah ini bentuk keberpihakan pada rakyat atau sekadar pemenuhan kenyamanan elit politik?

Tunjangan Kenaikan DPR dan Perspektif Pendidikan

Polemik ini dapat menjadi cermin bagaimana negara mengatur skala prioritasnya. Jika alokasi dana miliaran rupiah mampu dialihkan untuk memperbaiki sistem pendidikan, dampaknya akan jauh lebih luas. Misalnya, dana tersebut bisa memperbaiki infrastruktur kampus di daerah, menambah kuota beasiswa, atau menekan biaya UKT. Bahkan, pemerintah bisa menyalurkan subsidi perumahan mahasiswa yang seringkali kesulitan mencari kos dengan harga terjangkau.

Dengan demikian, mahasiswa tidak sekadar memandang kebijakan DPR sebagai isu politik, tetapi juga menghubungkannya langsung dengan kebutuhan konkret. Kehidupan akademik yang stabil hanya mungkin tercapai jika biaya hidup dan biaya pendidikan dapat dikendalikan. Maka, ketika publik mendengar kabar tentang kenaikan tunjangan, wajar jika mahasiswa bereaksi keras karena mereka merasakan kontras nyata antara kebijakan elit dan realitas kehidupan kampus.

Lebih jauh lagi, keberpihakan negara pada pendidikan seharusnya tampak jelas melalui alokasi dana. Jika pemerintah terus menyalurkan dana untuk fasilitas anggota legislatif, sementara program strategis nasional pendidikan terbatas, ketimpangan ini akan semakin nyata. Pendidikan tidak boleh sekadar menjadi jargon politik, tetapi harus diwujudkan dalam kebijakan nyata yang menyentuh langsung mahasiswa di seluruh Indonesia.

Kembali pada Prioritas Rakyat

Dalam konteks demokrasi, wakil rakyat seharusnya memahami bahwa mandat mereka adalah memperjuangkan kebutuhan rakyat. Oleh karena itu, setiap kebijakan yang menyangkut anggaran negara wajib diukur dengan dampak nyata bagi masyarakat luas. Dengan membandingkan antara tunjangan kenaikandan kebutuhan pendidikan mahasiswa, kita bisa menilai bagaimana pemerintah memaknai keadilan sosial.

Kenaikan tunjangan bukan hanya soal angka di atas kertas, melainkan tentang simbol prioritas. Bila negara terus menomorsatukan kenyamanan pejabat dibanding pendidikan rakyat, maka generasi muda akan semakin skeptis pada sistem politik. Sebaliknya, bila kebijakan diarahkan untuk mendukung mahasiswa, memperluas akses pendidikan, dan menekan biaya kuliah, maka kepercayaan publik terhadap institusi negara akan tumbuh.

Akhirnya, perdebatan tentang tunjangan kenaikan DPR harus menjadi momentum refleksi. Negara wajib hadir lebih nyata dalam menjawab kebutuhan dasar pendidikan, karena hanya dengan generasi muda yang terdidik dan berdaya saing, Indonesia bisa benar-benar melangkah maju.

Baca juga: Diskoneksi Sosial di Era Koneksi Digital? Jurnal Harian Jadi Solusi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *