CampusNet – Fenomena pejabat yang enggan membaca bukan sekadar isu kecil. Jauh lebih dalam, ini masalah serius yang berimbas pada masyarakat luas. Berikut lima alasan mengapa kebiasaan malas baca di kalangan pejabat bisa merugikan rakyat:
Kebijakan yang Salah Sasaran
Banyak pejabat hanya mengandalkan ringkasan singkat dari staf tanpa menelaah laporan secara utuh. Akibatnya, detail penting yang sebenarnya krusial kerap terlewat begitu saja. Hal ini membuat kebijakan yang tercipta kurang menyentuh masalah nyata di lapangan.
Dampaknya, rakyat menerima kebijakan yang tidak relevan dengan kebutuhan mereka. Misalnya, bantuan sosial yang tidak tepat sasaran karena data tidak dipahami secara menyeluruh. Kesalahan ini berulang karena pejabat tidak terbiasa membaca dan menelaah dengan teliti.
Pemborosan Anggaran Negara
Ketika pejabat tidak membaca dokumen detail, peluang pemborosan anggaran semakin besar. Proyek yang seharusnya bermanfaat bisa berubah menjadi tumpukan laporan tanpa hasil nyata. Padahal, setiap rupiah tersebut berasal dari pajak rakyat.
Kegagalan membaca dan memahami juga membuat anggaran terbuang sia-sia. Program yang ada hanya karena terlihat bagus di atas kertas. Pada akhirnya, rakyat yang menanggung akibat dari anggaran yang salah arah.
Pernyataan Publik yang Asal Bicara
Pejabat yang malas membaca sering terjebak membuat pernyataan tanpa dasar kuat. Mereka berbicara hanya berdasarkan potongan informasi yang tidak lengkap. Akibatnya, publik menerima pernyataan yang membingungkan bahkan kontradiktif.
Hal ini menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap pejabat dan institusinya. Pernyataan resmi dari mereka saja bisa tidak akurat. Jadi, bagaimana masyarakat bisa yakin kalau kebijakan selama ini benar?
Masyarakat Jadi Pihak yang Paling Dirugikan
Setiap kebijakan yang salah arah ujungnya dirasakan oleh rakyat. Mulai dari bantuan yang terhambat, pelayanan publik yang tidak efektif, hingga solusi setengah matang. Semua itu bermula dari pejabat yang enggan membaca dengan teliti.
Kebiasaan malas baca di kalangan pejabat menjadi beban kolektif yang ditanggung bersama. Rakyat yang pada akhirnya harus menanggung biaya tambahan. Baik itu berupa waktu, tenaga, keringat, maupun uang.
Perlu Budaya Literasi di Lingkungan Birokrasi
Mengatasi masalah ini tidak cukup hanya dengan mengingatkan mereka. Dibutuhkan sistem yang memaksa mereka memahami isi dokumen sebelum mengambil keputusan. Literasi harus dipandang sebagai kewajiban, bukan sekadar pilihan.
Budaya literasi di birokrasi akan mendorong terciptanya kebijakan yang lebih akurat dan berpihak pada rakyat. Dengan begitu, pejabat benar-benar menjalankan fungsi sebagai pengambil keputusan yang bijak. Jika tidak, rakyat akan terus menjadi korban dari ketidakseriusan mereka.
Baca juga: Krisis Literasi di Indonesia: Kenali dan Atasi Masalahnya