CampusNet – Aksi mahasiswa menolak tunjangan perumahan anggota DPR kembali memanaskan isu pembubaran DPR. Banyak orang bertanya, “Bisakah presiden membubarkan DPR?” Pertanyaan ini muncul setiap kali ada kebijakan DPR yang menuai kontroversi, seperti isu kenaikan tunjangan perumahan hingga Rp50 juta. Padahal, seperti data yang ditunjukkan oleh Infografis Kompas, penghasilan mereka sudah tinggi. Lihat saja, di tahun 2025 saja, setiap anggota DPR rata-rata menerima sekitar Rp2,8 miliar per tahun, atau sekitar Rp230 juta per bulan. Angka ini meningkat pesat dari tahun sebelumnya.
Posisi Konstitusional dan Sejarahnya
Sebenarnya, wacana pembubaran DPR bukanlah hal baru. Namun, isu ini semakin menguat karena penambahan tunjangan terasa ironis di tengah kondisi ekonomi masyarakat yang sulit. Daya beli menurun dan lapangan pekerjaan terasa semakin sempit, meskipun data BPS menunjukkan pertumbuhan ekonomi. Lantas, bagaimana dasar hukumnya?
Konstitusi kita, UUD 1945, sudah tegas mengaturnya. Pasal 7C UUD 1945 menyatakan, “Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR.” Ini menegaskan bahwa Presiden dan DPR memiliki kedudukan yang sejajar sebagai lembaga negara. Mereka tidak bisa saling membubarkan. Prinsip ini menjadi pilar utama sistem pemerintahan presidensial di Indonesia.
Pelajaran dari Sejarah Politik Indonesia
Sejarah mencatat bahwa upaya pembubaran lembaga legislatif pernah terjadi. Pada era Orde Lama, Presiden Soekarno membubarkan DPR hasil Pemilu 1955. Ia membentuk DPR-GR karena ketidakstabilan politik mengganggu jalannya pemerintahan. Kemudian, Presiden Abdurrahman Wahid juga pernah mengeluarkan dekrit untuk membekukan MPR dan DPR pada 23 Juli 2001. Namun, dekrit itu tidak terlaksana. MPR memandang dekrit tersebut inkonstitusional karena tidak ada kewenangan bagi Presiden untuk membubarkan lembaga legislatif.
Setelah peristiwa tersebut, MPR melakukan amendemen ketiga UUD 1945 pada 9 November 2001. Mereka menambahkan Pasal 7C, yang secara eksplisit melarang Presiden membubarkan DPR. Pasal ini memperkuat posisi DPR dan memastikan konflik politik harus diselesaikan melalui mekanisme konstitusional. Tentu, ini menjadi pelajaran penting bagi bangsa kita dalam konsolidasi demokrasi.
Harapan Rakyat dan Kekuatan Suara Publik
Lalu, bagaimana rakyat bisa menolak anggota DPR yang tidak memperjuangkan aspirasi mereka? Caranya adalah melalui pemilu. Rakyat bisa menggunakan hak suaranya untuk tidak memilih kembali anggota DPR yang dinilai tidak kompeten atau tidak berpihak kepada rakyat. Meskipun demikian, seruan pembubaran DPR di media sosial tetap menjadi bagian dari ekspresi publik yang dijamin oleh konstitusi.
Justru yang menjadi masalah adalah reaksi beberapa anggota DPR yang kurang berempati. Seperti pernyataan salah satu anggota DPR yang menganggap orang yang menyerukan pembubaran DPR sebagai “orang tolol sedunia.” Pernyataan seperti itu justru memancing amarah publik dan berpotensi menyebabkan konflik sosial. Maka, sangat penting bagi wakil rakyat untuk mendengarkan aspirasi masyarakat, terutama para pelajar dan mahasiswa, yang menyuarakan keresahan mereka.
Kesimpulan
Jadi, berdasarkan landasan konstitusional dan sejarah, presiden tidak memiliki kewenangan untuk membubarkan DPR, baik melalui dekrit, perppu, atau instrumen hukum lainnya. Jika ada konflik, kedua lembaga negara ini harus menyelesaikannya secara konstitusional.
- Baca juga artikel lain tentang Fungsi dan Wewenang DPR dalam Sistem Pemerintahan Indonesia untuk pemahaman lebih lanjut.
- Untuk mengetahui lebih jauh tentang hak dan kewajiban warga negara dalam demokrasi, Anda bisa mengunjungi situs Komisi Pemilihan Umum (KPU).