Digitalisasi Pendidikan dan Bayang-Bayang Kasus Nadiem

CampusNet – Transformasi digital dalam pendidikan Indonesia sempat dipandang sebagai langkah besar menuju masa depan yang lebih inklusif dan transparan. Melalui berbagai platform pembelajaran digital, pemerintah ingin menghadirkan akses pendidikan yang merata bagi seluruh siswa. Namun, keberhasilan tersebut kini ternodai karena mencuatnya kasus Nadiem yang berkaitan dengan dugaan korupsi dalam program pengadaan perangkat pendidikan. Kondisi ini membuat banyak mahasiswa mempertanyakan arah digitalisasi pendidikan yang seharusnya menjadi solusi, bukan menambah masalah.

Program digitalisasi yang digagas sejak pandemi Covid-19 membawa perubahan signifikan pada sistem belajar. Sekolah-sekolah mendapatkan perangkat teknologi, aplikasi pengajaran mulai dipakai secara masif, dan guru berusaha menyesuaikan diri dengan era baru. Namun, di balik narasi kemajuan itu, kasus Nadiem justru memperlihatkan adanya celah serius dalam tata kelola kebijakan. Ketika tujuan awal adalah mengatasi krisis belajar, realitanya program ini malah diseret ke meja hukum karena praktik yang tidak sesuai dengan prinsip transparansi.

Kasus Nadiem dan Tanggung Jawab Publik

Dalam konteks akademik, kasus Nadiem menjadi pelajaran penting tentang pentingnya integritas di sektor pendidikan. Mahasiswa harus menyadari bahwa digitalisasi bukan hanya soal teknologi, melainkan juga soal akuntabilitas. Tanpa kepemimpinan yang berkomitmen, program secanggih apa pun bisa kehilangan arah. Oleh karena itu, civitas akademika perlu terus bersuara agar setiap kebijakan pendidikan selalu berpihak pada kepentingan publik, bukan pada segelintir pihak yang mencari keuntungan pribadi.

Di level internasional, UNESCO telah mendorong agar pemanfaatan kecerdasan buatan dan teknologi digital digunakan dengan bijak. Pesan ini relevan untuk Indonesia, terutama setelah mencuatnya kasus Nadiem. Jika tidak ada kontrol etis, maka digitalisasi bisa menjadi ladang penyalahgunaan, baik dalam bentuk korupsi maupun bias teknologi yang merugikan peserta didik. Hal ini menunjukkan bahwa teknologi hanyalah alat; manusia yang mengendalikannya tetap menjadi faktor penentu.

Mahasiswa tidak boleh tinggal diam ketika melihat pendidikan nasional terseret masalah serius. Mereka bisa melakukan kajian kritis, menyelenggarakan diskusi publik, hingga mengawal transparansi kebijakan digitalisasi. Dengan begitu, suara akademisi muda dapat memberi tekanan moral agar pemerintah lebih berhati-hati. Mengingat dampak luasnya, kasus Nadiem harus menjadi pengingat bahwa integritas adalah pondasi utama pendidikan modern.

Digitalisasi pendidikan jelas tidak bisa dihentikan. Namun, prosesnya harus dikawal secara hati-hati. Mahasiswa perlu memahami bahwa inovasi bukan hanya soal teknologi, tetapi juga soal nilai dan moralitas. Jika prinsip akuntabilitas diabaikan, maka kasus serupa akan mudah terulang. Oleh karena itu, kasus Nadiem sebaiknya menjadi titik balik untuk memperkuat sistem pengawasan, meningkatkan literasi digital, dan memastikan bahwa semua program pendidikan benar-benar berorientasi pada kepentingan masyarakat luas.

Baca juga: DPR Pangkas Fasilitas: Respons atas Gelombang Tuntutan Rakyat

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Banner TikTok