Sherly Annavita Rahmi: Generasi Stroberi dan Kunci Sukses di Era Society 5.0

CampusNet – Memasuki hari ke empat rangkaian acara Simposium Kawasan 2025, Perhimpunan Pelajar Indonesia Kawasan Timur Tengah dan Afrika (PPIDK Timtengka) mengundang beberapa content creator sebagai narasumber dalam sesi Workshop. Salah satu yang hadir adalah Sherly Annavita Rahmi.

Acara yang bertempat di Invoice China, Perpustakaan Istiqlal Jakarta, ini mengusung tema yang berkaitan dengan perkembangan era society 5.0, yakni “Developing Skill in 5.0 Era”. Acara ini bertujuan untuk memberikan wawasan kepada para delegasi mengenai tata cara serta tips dalam menghadapi dan mengembangkan keterampilan di era tersebut.

Generasi Z dijuluki sebagai “Generasi Stroberi”

Generasi Z adalah orang-orang yang lahir pada kisaran tahun 1997 hingga 2012. Dalam pemaparannya Sherly mengibaratkan generasi ini dengan buah stroberi, karena beberapa karakteristik yang hampir sama dengan buah tersebut.

Meskipun mereka adalah generasi yang baik dan berkualitas, tapi mereka mudah terkena mental dan rapuh terhadap tekanan, serta keputusan yang diambil seringkali dikendalikan oleh suasana hati (Mood).

“Ibarat buah stroberi yang bagus dan cantik, tapi ketika ditekan sedikit dia akan hancur. Bahkan perubahan suhu juga bisa membuat stroberi itu berbeda rasa,” imbuhnya.

Passion dan Karier

Dalam pertengahan sesi workshop tercipta percakapan dua arah antar narasumber dan delegasi. Menurut salah satu delegasi, Zada, passion bekerja sebagai petunjuk arah, pembentuk karakter, dapat mendorong semangat, dan mengurangi stres.

Sementara itu, Sherly berpendapat bahwa passion adalah melakukan hal yang kita sukai (love what we do), yang membuat kita rela meluangkan banyak waktu mengerjakannya, seperti menulis, fotografi, menghitung, dsb. Namun, ia juga menekankan bahwa passion tidak selalu dapat dijadikan sandaran utama dalam dunia karier. Dunia kerja menuntut profesionalisme dan kegigihan, berbeda dengan passion yang biasa dilakukan secara sukarela.

Starting Point dan Finishing Point

Dalam paparannya, dijelaskan bahwa starting point atau titik awal merupakan bagian penting dalam perjalanan hidup seseorang. Titik ini kerap dipengaruhi oleh latar belakang keluarga, lingkungan, hingga kondisi sosial-ekonomi yang berbeda-beda. Namun, titik awal bukanlah penentu utama kesuksesan. Setiap individu memiliki jalur unik, sehingga memahami posisi diri tanpa membandingkan dengan orang lain menjadi kunci penting.

Sementara itu, finishing point atau titik akhir justru dianggap jauh lebih menentukan. Titik ini merujuk pada tujuan maupun dampak yang ingin dicapai di masa depan. Dengan visi yang jelas, pertumbuhan berkelanjutan, serta tanggung jawab moral dan sosial, seseorang dapat merancang masa depannya sendiri.

“Ternyata starting point kita boleh dimulai darimana saja, dan itu adalah proses kita dalam bertumbuh. Meskipun tidak bisa memilih titik awal, setiap orang tetap punya kendali penuh untuk menentukan titik akhir yang ingin diwujudkan,” ungkap Sherly.

11 Skill penting untuk Menghadapi Era Digital

Sebuah survei yang dilakukan oleh Times Higher Education mengungkapkan adanya kesenjangan signifikan antara keterampilan yang diharapkan oleh dunia kerja dan kemampuan yang dimiliki oleh lulusan sarjana saat ini. Menurut pemaparan Sherly, industri membutuhkan kualitas keterampilan tertentu yang belum sepenuhnya dipenuhi oleh para lulusan. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun banyak lulusan memiliki pengetahuan akademis, mereka belum sepenuhnya memenuhi ekspektasi industri, khususnya dalam penguasaan keterampilan lunak (soft skills) yang sangat krusial.

Dalam survei tersebut setidaknya ada sebelas keterampilan yang paling dibutuhkan di era digital. Keterampilan ini meliputi Communication, Problem Solving/Critical Thinking, Adaptability, Initiative, Collaboration, Creativity, Emotional Intelligence/Empathy, Resilience, Curiosity, Social and Cultural, Awareness, serta Leadership.

Perbedaan sibuk dan produktif

Menurut narasumber, Sherly Annavita Rahmi, sibuk bukanlah ukuran produktif. Di hadapan para delegasi, ia menegaskan bahwa produktivitas tidak bisa disamakan dengan sekadar kesibukan. Kesadaran ini lahir dari pengalaman pribadinya, ketika seorang mentor pernah mengajukan empat pertanyaan krusial yang awalnya gagal ia jawab. Dari momen tersebut, Sherly mulai memahami perbedaan mendasar antara hanya sibuk dengan benar-benar produktif. Empat pertanyaan tersebut adalah:

  1. Siapa kamu 10 tahun ke depan?
  2. Siapa dirimu saat ini?
  3. Bagaimana caranya (how)?
  4. Apa yang ingin kamu wariskan untuk generasi sesudahmu?

Merancang Masa Depan Dari Sekarang

Menutup sesinya, Sherly Annavita Rahmi menegaskan kembali bahwa masa depan bisa dibentuk mulai dari sekarang dengan tanggung jawab pribadi dan investasi pada diri sendiri. Ia mengingatkan pentingnya mengisi “gelas” diri dengan ilmu dan keterampilan sebelum memberi manfaat bagi orang lain.”

Tidak ada yang bisa memastikan masa depan, tapi cara terbaik untuk memprediksi masa depan kita adalah memulai dan melakukan langkah-langkah kecil itu dari sekarang. Dan orang yang paling bertanggung jawab bagi masa depan kita adalah diri kita sendiri,” tutur Sherly memotivasi. Apa yang disampaikan olehnya, menjadi pengingat utama tentang bagaimana lulusan harus mempersiapkan diri.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *