CampusNet – Dulu, kos adalah tempat sementara untuk pulang. Sekarang, kos juga naik tingkat menjadi salah satu strategi untuk bertahan hidup. Karena bagi mahasiswa perantau, biaya hidup mahasiswa di kota besar seperti Yogyakarta, Bandung, dan Malang kian terus merangkak naik.
Data tahun 2024-2025 menunjukkan, rata-rata pengeluaran bulanan mahasiswa sudah tembus Rp 2,9 juta-3 juta per bulan, dengan kos dan transportasi jadi dua komponen terbesar.
Jadi jangan heran, banyak mahasiswa kini mulai “survival mode”, dari tinggal sendiri, jadi tinggal barengan. Dari ngekos standar, menjadi Co-living.
Naiknya Kos, Pemicunya Bukan Sekadar “Harga”
Dikutip dari detik.com, survei biaya hidup mahasiswa di Yogyakarta pada 2024 mencatat pengeluaran rata-rata mencapai Rp 2,96 juta per bulan, melebihi UMR setempat. Komponen kos mendominasi mulai dari Rp 600.000 untuk kamar sederhana hingga di atas Rp 1 juta untuk fasilitas menengah.
Fenomena serupa terjadi di Bandung. Estimasi 2025 dari dealls.com menunjukkan kos sederhana berkisar Rp 600.000, dengan total pengeluaran bulanan mahasiswa mencapai Rp 3 juta.
Di Malang, Info Malang Raya memprediksikan bahwa kontrakan sederhana bisa mulai Rp 1 juta-Rp 1,5 juta per bulan, dan total pengeluaran (kost, makan, transport) bisa sangat bervariasi tergantung gaya hidup. Bagi banyak mahasiswa, tinggal sendiri jadi makin berat. Maka lahirlah strategi baru: Co-living.
Hadirnya Co-living, Dari Solusi Irit Jadi Komunitas
Co-living bukan sekadar berbagi kamar. Banyak mahasiswa kini kontrak satu rumah kecil, lalu tinggal bersama 3-4 orang. Biaya kos, listrik, air, hingga Wi-Fi dibagi rata. Bahkan, beberapa kelompok membuat “dapur bersama” dan jadwal masak bergilir. Hasilnya? Bukan cuma lebih hemat, tapi juga muncul rasa komunitas.
Selain kos, transportasi juga jadi target efisiensi. Mahasiswa satu kos sering berangkat kuliah bareng, nebeng motor atau patungan ojek online. Beberapa memilih tinggal lebih dekat kampus, walau harus berbagi kamar sempit, demi menghemat ongkos harian.
Apabila biaya transportasi mahasiswa diperkirakan per minggu sekitar Rp 60 ribuan, kalau dikali sebulan, itu cukup signifikan untuk kantong mahasiswa.
Yang menarik, kenaikan biaya hidup ini tidak cuma memaksa mahasiswa irit, tapi juga mendorong solidaritas. Dulu, kos sering jadi ruang individual. Sekarang, kos jadi ruang hidup bersama: teman sekamar jadi rekan satu tim dalam bertahan hidup. Mereka belajar negosiasi, manajemen keuangan, berbagi ruang, dan kadang… berbagi beban.
Belum Ada Kebijakan Khusus, Tapi Mahasiswa Gerak Duluan
Hingga kini belum ada kebijakan nasional yang menyesuaikan bantuan biaya hidup mahasiswa dengan kenaikan aktual di lapangan. Banyak kampus masih memakai standar lama, padahal harga kos dan ongkos transport sudah berubah drastis. Tapi di tengah minimnya kebijakan, mahasiswa tidak diam.
Co-living membuktikan bahwa krisis kecil bisa melahirkan bentuk solidaritas baru. Bukan hanya hemat, tapi juga menciptakan ekosistem sosial yang saling dukung, sesuatu yang mungkin nggak didapat dari sekadar tinggal sendiri di kamar kos.
Baca Juga: Cara Tenang Jalani Kuliah Tanpa Harus Selalu Sibuk