Mahasiswa Sibuk Bukan Berarti Mahasiswa Berkembang

CampusNet – Di kampus sekarang, “aktif” sudah menjadi semacam mata uang sosial. Mahasiswa tampil di Instagram dengan caption “magang × bulan”, “volunteer × kegiatan”, “organisasi × ketua panitia”. Mengutip Padek Jawapos.com, meski Program Magang Berdampak 2025 menunjukkan bahwa 16,52% mahasiswa peserta langsung mendapat tawaran kerja setelah magang, sisanya 83,48% belum jelas lewat tolok ukur itu. Apakah “sibuk” mereka berarti berkembang? Belum tentu.

Saat “Sibuk” Menjadi Agenda Utama

Menjadi mahasiswa aktif kini terasa seperti kewajiban moral. Di media sosial, unggahan tentang rapat hingga larut malam atau pamer sertifikat magang kerap jadi tolok ukur “mahasiswa keren”.

Fenomena ini bahkan punya istilah populer di TikTok: “grind culture kampus”, budaya kerja tanpa henti atas nama produktivitas. Data dari survei Katadata Insight Center tahun 2025 menunjukkan bahwa 61% mahasiswa aktif organisasi dan magang mengalami tekanan waktu dan stres akademik.

Fenomena ini bukan soal malas atau tidak tahan kerja keras, tetapi soal kehilangan keseimbangan antara berkembang dan sekadar sibuk. Sibuk itu tidak salah. Masalahnya muncul ketika kesibukan menjadi tujuan, bukan sarana untuk belajar.

Ketika Aktivitas Jadi Rutinitas Tanpa Depth

Penelitian yang diterbitkan oleh Edukatif: Jurnal Ilmu Pendidikan (UNESA, 2025) juga menemukan bahwa pengalaman organisasi dan magang memang meningkatkan employability skill, asalkan kegiatan tersebut memiliki struktur pembelajaran dan umpan balik yang jelas. Tanpa itu, aktivitas hanya menjadi rutinitas administratif yang melelahkan.

Banyak mahasiswa akhirnya terjebak pada daftar panjang pengalaman tanpa makna. Sertifikat menumpuk, tetapi refleksi minim. Akibatnya, kegiatan yang seharusnya membangun justru menciptakan burnout baru.

Bagaimana Mahasiswa Bisa Benar-Benar Berkembang

  1. Tetapkan niat sebelum ikut kegiatan. Jangan asal daftar. Tanyakan, “apa yang saya ingin pelajari?” bukan “apa yang terlihat keren di CV?
  2. Evaluasi hasil, bukan jumlah. Lebih baik satu magang yang bermakna daripada tiga yang hanya mengisi waktu.
  3. Luangkan waktu hening. Refleksi, membaca, menulis jurnal, atau sekadar istirahat adalah bagian dari perkembangan kognitif.
  4. Bangun keseimbangan. Produktivitas sejati lahir dari kombinasi antara kerja, istirahat, dan makna.
  5. Ukur dengan dampak, bukan dengan pengakuan. Jika aktivitasmu memberi manfaat bagi diri dan orang lain, itulah bentuk perkembangan yang nyata.

Antara Sibuk dan Berkembang

Mahasiswa sering kali mengira bahwa semakin banyak kegiatan berarti semakin siap menghadapi dunia kerja. Padahal, dunia profesional lebih menghargai kemampuan analisis, komunikasi, dan stabilitas emosi, hal-hal yang justru berkembang lewat proses reflektif, bukan kesibukan berlebihan.

Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi pada 2025 juga menegaskan pentingnya mahasiswa menyeimbangkan kegiatan akademik dengan pengabdian masyarakat yang berkelanjutan, bukan hanya kegiatan seremonial. Artinya, fokus pemerintah pun mulai bergeser dari “banyak kegiatan” menjadi “kegiatan yang berdampak”.

Sibuk tidak selalu berarti maju. Justru sering kali, kesibukan berlebihan menutup ruang bagi pengembangan diri yang sesungguhnya: membaca, berpikir kritis, dan memahami diri. Mahasiswa yang benar-benar berkembang bukan mereka yang kalendernya penuh, melainkan yang tahu kenapa mereka mengisinya.

Kesibukan bisa jadi ladang belajar, tapi juga bisa jadi perangkap ego. Yang membedakan hanyalah kesadaran akan arah dan makna dari setiap langkah. Memang, menjadi aktif itu penting, tapi menjadi bermakna jauh lebih langka, dan di situlah letak perkembangan yang sebenarnya.

Baca Juga: Kesehatan Mental Mahasiswa: Tantangan dan Solusi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Banner TikTok