CampusNet – Setahun pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka menutup 2025 dengan ekonomi yang tumbuh stabil tapi belum agresif. Data resmi Kementerian Keuangan mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia 4,8% pada kuartal I 2025, meningkat menjadi 5,12% di kuartal II, dan 5,04% di kuartal III. Rata-rata pertumbuhan ekonomi sepanjang tahun berada di kisaran 5%, hampir sama dengan capaian tahun-tahun sebelumnya.
Mengutip DetikFinace, Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu menilai hasil itu positif di tengah tekanan global. “Secara underlying nggak jelek-jelek amat. Bahkan di beberapa poin, kita outperform banyak peers kita,” ujarnya.
Pasar Keuangan Optimis, Tapi Ekonomi Riil Masih Pelan
Investor merespons positif kondisi makro. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat menyentuh 8.317 poin, rekor tertinggi sepanjang sejarah, sementara imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) turun ke 5,91%, level terendah sejak 2021.
Penurunan yield ini menandakan kepercayaan pasar terhadap fiskal Indonesia. Namun, beberapa analis menilai stabilitas tersebut lebih mencerminkan ekspektasi ekonomi yang “aman tapi belum ekspansif.”
Pasar modal bergerak tenang, tetapi sektor riil belum ikut cepat. Produksi industri tumbuh, namun permintaan domestik belum melonjak. Pemerintah menyiapkan stimulus di kuartal IV untuk menjaga momentum, tetapi dampaknya baru terasa jika konsumsi rumah tangga naik signifikan.
Global Kian Menekan dengan Tantangan
Febrio mengingatkan, pertumbuhan ekonomi dunia hanya diproyeksikan 2,9% pada 2026, yang berarti tekanan ekspor dan fluktuasi harga komoditas akan terus berlanjut.
Pemerintah menargetkan peningkatan investasi dan percepatan proyek strategis nasional untuk menahan efek perlambatan global. Namun, efektivitasnya bergantung pada daya serap belanja publik dan efisiensi birokrasi.
Momentum yang Perlu Diterjemahkan
Setahun kepemimpinan Prabowo–Gibran menunjukkan kemampuan pemerintah menjaga stabilitas fiskal dan kepercayaan investor. Tapi, capaian ini belum cukup untuk menyebut ekonomi “berlari cepat.” Indonesia memang tidak jatuh, tapi juga belum benar-benar melesat.
Pertumbuhan 5% menunjukkan daya tahan, bukan akselerasi. Pemerintah harus mengubah momentum stabilitas menjadi percepatan: menciptakan lapangan kerja, memperkuat sektor riil, dan menaikkan daya beli. Tanpa langkah konkret ke arah itu, ekonomi Indonesia berisiko nyaman di zona 5%, memang stabil, tapi stagnan.
Baca Juga: Prabowo Saja Heran Bahlil Jadi Menteri Investasi


