CampusNet – RUU KUHAP menjadi sorotan publik. Alih-alih memperbaiki proses peradilan pidana, sejumlah pasal di dalamnya justru dinilai membuka peluang penyalahgunaan kekuasaan. Situasi ini membuat banyak pihak khawatir: apakah revisi KUHAP benar-benar untuk rakyat, atau justru memperlebar jarak antara rakyat dan aparat hukum?
Faktanya, beberapa pasal krusial dalam draf RUU ini dianggap mengancam hak dasar warga negara—mulai dari penangkapan, penyadapan, hingga penyitaan. Berikut penjelasan mengapa RUU KUHAP dinilai berbahaya dan perlu dikaji ulang.
1. Pasal Penangkapan yang Terlalu Longgar
Bagian paling mengkhawatirkan dari RUU KUHAP adalah aturan soal penangkapan. Dalam rancangan terbaru, aparat dapat menangkap seseorang dengan alasan “cukup alasan” atau “patut diduga.”
Masalahnya, dua istilah ini tidak dijelaskan sama sekali standar operasionalnya.
Apa itu “cukup alasan”?
- Dua laporan?
- Satu laporan?
- Atau sekadar kecurigaan subjektif?
Tanpa definisi jelas, pasal ini dapat menjadi pintu masuk kriminalisasi, terutama terhadap warga biasa yang tidak punya kekuatan politik atau akses ke bantuan hukum. Rakyat makin melemah, sementara kewenangan aparat justru makin melebar.
2. Penyadapan yang Tidak Transparan
RUU KUHAP membuka peluang penyadapan lebih luas oleh penyidik. Walaupun ada permintaan izin pengadilan, aturan ini tetap diprotes karena tidak menjelaskan mekanisme pengawasan.
Tanpa transparansi, penyadapan bisa dilakukan tanpa akuntabilitas yang kuat.
Padahal penyadapan adalah salah satu tindakan paling invasif terhadap hak privasi.
Jika RUU KUHAP disahkan tanpa pengawasan ketat, bukan tidak mungkin penyadapan digunakan bukan hanya untuk proses hukum, tapi juga untuk mengawasi pihak yang dianggap “mengganggu.”
3. Penyitaan Bisa Dilakukan Tanpa Pengawasan Memadai
Penyitaan seharusnya dilakukan untuk kepentingan pembuktian, bukan alat menekan seseorang.
Namun RUU KUHAP membuka celah luas karena memberikan kewenangan penyitaan yang lebih fleksibel, tanpa merinci parameter penting seperti:
- Barang apa yang boleh disita
- Prosedur keberatan
- Batasan waktu
Tanpa batasan jelas, tindakan penyitaan rentan digunakan untuk intimidasi. Lagi-lagi, posisi publik menjadi semakin lemah.
4. Kewenangan Penahanan yang Berpotensi Berlebihan
Waktu penahanan yang diatur dalam RUU KUHAP diperpanjang dan memberi ruang diskresi besar pada penegak hukum.
Padahal penahanan adalah upaya terakhir dalam proses pidana.
Waktu penahanan yang terlalu longgar berisiko menahan orang yang bahkan belum tentu terbukti bersalah, namun sudah merasakan tekanan psikologis, sosial, dan ekonomi.
5. Minimnya Jaminan Akuntabilitas
Masalah terbesar RUU KUHAP bukan hanya pasal-pasal spesifik, tapi roh dari revisi ini:
Kewenangan aparat makin besar, tetapi mekanisme kontrolnya tidak ikut diperkuat.
Pemeriksaan, pengaduan, hingga peradilan praperadilan tidak diberikan pembaruan berarti.
Akibatnya, rakyat tidak mendapatkan jaminan perlindungan yang seimbang dengan perluasan kewenangan aparat.
Apa Dampaknya untuk Rakyat?
Jika RUU KUHAP disahkan tanpa perbaikan, dampaknya bisa dirasakan langsung oleh masyarakat, terutama kelompok rentan:
- Warga bisa ditangkap dengan alasan subjektif
- Privasi mudah ditembus lewat penyadapan
- Harta benda bisa disita tanpa standar rinci
- Waktu penahanan berlarut-larut
- Mekanisme kontrol tidak memadai
Situasi ini membuat posisi rakyat semakin tidak aman ketika berhadapan dengan proses hukum.
RUU KUHAP Perlu Dikaji Ulang Secara Serius
Reformasi KUHAP memang penting, tetapi reformasi yang benar harus bertujuan memperkuat rule of law dan hak-hak warga, bukan memperluas kewenangan aparat tanpa kendali.
RUU KUHAP perlu direvisi ulang dengan prinsip:
- Kejelasan standar penangkapan
- Transparansi dalam penyadapan
- Batasan ketat dalam penyitaan
- Pengawasan independen yang kuat
- Perlindungan maksimal bagi hak-hak tersangka dan terdakwa
Jika tidak, maka revisi KUHAP bukan reformasi hukum—melainkan mundurnya perlindungan hukum bagi rakyat.
Kesimpulan: RUU KUHAP Berbahaya Jika Dibiarkan
RUU KUHAP bukan sekadar dokumen hukum; ia akan menentukan bagaimana negara memperlakukan warganya.
Dan jika rancangan yang sekarang dibiarkan berjalan, maka kita sedang menuju sistem yang menempatkan aparat semakin superior, sementara rakyat semakin tidak berdaya.
Revisi diperlukan—bukan untuk memenuhi kepentingan institusi, tetapi demi melindungi mereka yang paling rentan: masyarakat itu sendiri.


