Arah Politik Indonesia Makin Mengkhawatirkan: RUU KUHAP Hanyalah Gejala dari Masalah yang Lebih Besar

CampusNet – Pengesahan RUU KUHAP pada 18 November 2025 mungkin terlihat sebagai satu keputusan kontroversial. Tapi kalau diperhatikan lebih dalam, ini bukan sekadar soal satu undang-undang.
Ini adalah cermin yang memantulkan arah politik Indonesia yang bergerak ke jalur yang mengkhawatirkan: negara makin kuat, publik makin kecil, dan demokrasi makin kehilangan maknanya.

RUU KUHAP bukan penyebabnya—ini hanyalah salah satu gejala dari penyakit yang lebih besar.

Negara Makin Dominan, Aparat Makin Diperkuat

Dalam beberapa tahun terakhir, hampir semua produk legislasi besar mengarah ke satu pola: penguatan negara melalui aparat penegak hukum.

RUU KUHP, revisi UU ITE, RUU Polri, hingga RUU KUHAP semuanya memusatkan kekuasaan pada institusi negara, terutama Kepolisian.
Yang membuat situasi semakin mengkhawatirkan adalah: setiap perluasan kewenangan tidak pernah diimbangi dengan mekanisme pengawasan yang memadai.

Ini menciptakan struktur politik yang timpang: negara memiliki alat kekuasaan yang besar, tapi rakyat tidak punya cukup ruang untuk memastikan kekuasaan itu tidak disalahgunakan.
Semakin besar kekuasaan tanpa kontrol, semakin dekat kita dengan otoritarianisme yang dibungkus demokrasi prosedural.

Partisipasi Publik Menyempit

Demokrasi formal tetap ada—pemilu jalan, kampanye berlangsung, partai tampil di televisi.
Namun partisipasi warga dalam pembuatan kebijakan terus dipersempit.

Pengesahan berbagai UU penting dilakukan:

  • cepat
  • minim dialog
  • tanpa membaca ulang keberatan publik
  • dan tanpa naskah akademik yang transparan

Partisipasi publik berubah menjadi simbol, bukan proses.
Di atas kertas kita demokratis. Dalam praktik? Ruangnya makin menyusut seperti lorong gelap yang dipersempit dari dua arah.

Politik Elite Mengalahkan Aspirasi Publik

Arah politik Indonesia kini ditentukan oleh kepentingan elite politik: partai besar, pemerintah, dan institusi keamanan.
Hubungan di antara mereka semakin erat, saling menopang, dan semakin sulit disentuh publik.

Ketika pembahasan legislasi penting didominasi oleh elite, hasil akhirnya hampir selalu berpihak pada:

  • stabilitas politik versi pemerintah,
  • keamanan versi aparat,
  • dan kalkulasi elektoral versi partai,

bukan kebutuhan rakyat.

RUU KUHAP hanya menegaskan kembali: publik bukan lagi subjek politik, tetapi objek yang perlu “dikendalikan” agar tidak mengganggu agenda besar negara.

Normalisasi Pengurangan Hak Sipil

Yang paling mengkhawatirkan bukan hanya apa yang disahkan DPR, tapi bagaimana publik dipaksa menganggapnya normal.

Setiap perluasan wewenang aparat diterima sebagai “bagian dari penegakan hukum”.
Setiap penyempitan ruang kritik disebut sebagai “demi ketertiban”.
Ketika warga mulai terbiasa dengan pengurangan hak sipil, tanda-tanda negara melewati batas tidak lagi terbaca.

Perlahan-lahan kita memasuki fase di mana kebebasan adalah ekspektasi, bukan jaminan.
Dan ketika kebebasan tidak lagi dijamin, demokrasi hanya menjadi dekorasi.

Demokrasi Kita: Jalan di Tempat, Sementara Kekuasaan Berlari

Indonesia tidak sedang bergerak ke arah kehancuran politik yang tiba-tiba.
Yang terjadi lebih halus, lebih sistematis, dan lebih berbahaya: demokrasi berjalan di tempat, sementara kekuasaan terus berlari jauh ke depan.

Pemerintah semakin kuat, DPR semakin jauh dari rakyat, institusi hukum semakin sulit dipantau, dan publik semakin terbiasa melihat penyusutan ruang sipil sebagai hal yang biasa.
Jika tren ini dibiarkan, kita sedang menuju demokrasi dengan wajah otoriter—di mana semua mekanisme pemilu tetap ada, tapi kebebasan sipil terkikis sedikit demi sedikit.

Kesimpulan: Kita Sedang Masuk Era Politik yang Baru, dan Tidak Ada yang Menjamin Itu Baik

RUU KUHAP bukan sekadar undang-undang kontroversial.
Ia adalah indikator bahwa politik Indonesia sedang bergerak ke arah yang lebih tertutup, lebih terkonsolidasi, dan semakin jauh dari nilai demokrasi substantif.

Pertanyaan yang harus kita tanyakan bukan lagi “Apa isi RUU-nya?”
tetapi “Negara macam apa yang sedang dibentuk oleh keputusan-keputusan seperti ini?”

Karena kalau pola ini terus berlanjut, kita tidak hanya menghadapi UU yang membahayakan hak-hak sipil, tetapi sistem politik yang membuat kritik, kebebasan, dan suara rakyat semakin tidak relevan.

Baca juga: RUU KUHAP Disahkan Tergesa: Ada Apa di Balik Manuver Politik DPR?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Banner TikTok