CampusNet – Taman Nasional Tesso Nilo di Riau seharusnya menjadi salah satu benteng terakhir bagi kelangsungan hidup gajah Sumatra. Kawasan ini dikenal sebagai habitat penting bagi spesies langka yang kini berstatus terancam punah (critically endangered). Namun, realitas di lapangan menunjukkan hal sebaliknya. Tesso Nilo justru berubah menjadi simbol kegagalan negara dalam melindungi satwa liar dan hutan lindung.
Dalam beberapa tahun terakhir, kawasan Tesso Nilo mengalami kerusakan besar-besaran akibat perambahan hutan, pembukaan kebun sawit ilegal, dan aktivitas manusia yang tidak terkendali. Hutan yang dulu menjadi jalur jelajah alami gajah, kini terfragmentasi oleh jalan, pemukiman, serta lahan perkebunan. Akibatnya, ruang hidup gajah Sumatra semakin sempit dan terisolasi.
Populasi Gajah Sumatra Terus Menurun
Populasi gajah Sumatra di alam liar memang terus mengalami penurunan drastis. Di Tesso Nilo, jumlahnya diperkirakan tinggal puluhan ekor saja. Habitat yang menyusut memaksa mereka keluar dari kawasan hutan dan masuk ke area perkebunan atau permukiman warga untuk mencari makanan.
Situasi ini memicu konflik antara manusia dan gajah. Tak jarang, gajah dianggap sebagai hama atau perusak, padahal mereka hanya mengikuti naluri bertahan hidup akibat habitatnya yang dirusak. Lebih menyedihkan lagi, dalam beberapa kasus ditemukan gajah yang mati akibat diracun, dijerat, atau dibunuh secara ilegal.
Ironisnya, tindakan terhadap pelaku kejahatan lingkungan ini jarang terdengar. Penegakan hukum kerap berjalan lambat, bahkan nyaris tidak terlihat. Yang muncul ke publik justru tuntutan agar gajah dipindahkan atau “dikendalikan”, seolah merekalah penyebab utama masalah.
Kebun Sawit Ilegal & Lemahnya Pengawasan
Salah satu faktor terbesar di balik kehancuran Tesso Nilo adalah kebun sawit ilegal yang tumbuh subur di dalam kawasan taman nasional. Aktivitas ini jelas melanggar hukum, namun terus terjadi bertahun-tahun tanpa tindakan tegas yang berkelanjutan.
Pertanyaannya kemudian:
Di mana peran negara saat kawasan lindung berubah menjadi perkebunan pribadi?
Ketika negara gagal menguasai kembali wilayah konservasi, maka kepunahan gajah Sumatra bukan lagi ancaman di masa depan, melainkan proses yang sedang berlangsung hari ini.
Tesso Nilo, dari Harapan Menjadi Kuburan Sunyi
Dulu, Tesso Nilo dikenal sebagai salah satu wilayah dengan tingkat keanekaragaman hayati tertinggi di Sumatra. Kini, ia perlahan berubah menjadi kawasan konflik, luka ekologis terbuka, dan berpotensi menjadi kuburan sunyi bagi gajah Sumatra.
Jika tren ini terus berlanjut selama 5–10 tahun ke depan tanpa tindakan nyata, bukan tidak mungkin gajah Sumatra akan lenyap dari Riau. Bukan karena bencana alam, melainkan karena keserakahan, pembiaran, dan lemahnya keberpihakan pada lingkungan.
Lebih dari Sekadar Gajah
Krisis di Tesso Nilo sejatinya bukan hanya tentang satu spesies. Ini adalah refleksi bagaimana negara memperlakukan alamnya. Jika bahkan kawasan yang berstatus taman nasional tidak mampu dilindungi, bagaimana nasib hutan dan satwa di tempat lain?
Kita sering menyebut Indonesia sebagai negara megabiodiversitas. Namun, tanpa perlindungan nyata, gelar itu hanya tinggal slogan.
Pada akhirnya, pertanyaan paling penting bukan lagi, “Apakah gajah Sumatra akan punah?”
Melainkan, “Mengapa kita membiarkannya punah?”


