CampusNet – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) kembali memicu perdebatan. Pemerintah memutuskan program ini tetap berjalan meski sekolah libur Natal dan Tahun Baru (Nataru). Alasan utamanya: memastikan keberlanjutan gizi anak dan kelompok rentan. Namun di lapangan, kebijakan ini justru menimbulkan pertanyaan serius — bukan hanya soal efektivitas, tetapi juga soal prioritas nasional di tengah situasi darurat yang sedang terjadi.
Efektivitas Saat Libur Sekolah: Logika yang Tidak Kuat
Secara realistis, libur sekolah membuat akses anak terhadap program ini otomatis menurun. Banyak siswa:
- Sedang liburan keluar kota
- Tidak berada di wilayah sekolah
- Enggan datang ke sekolah hanya untuk mengambil makanan
Skema yang dipaksakan — seperti pengambilan di sekolah atau dapur layanan — membuat partisipasi menurun jauh. Artinya, program tetap berjalan, dana tetap keluar, tetapi penerima manfaat tidak optimal.
Di titik inilah problem utama terlihat: program besar, tapi dampak nyata saat libur jadi kecil.
Potensi Dana yang Bisa “Terselamatkan”: Angka yang Tidak Main-Main
Berdasarkan estimasi pemerintah, biaya MBG bisa mencapai:
± Rp 1,2 triliun per hari saat berjalan penuh secara nasional.
Jika libur Nataru berlangsung sekitar:
- 10 hari, maka potensi dana yang “seharusnya bisa tidak terpakai” bisa mencapai:
± Rp 12 triliun.
Ini bukan angka kecil. Ini angka yang sangat besar dalam konteks kebijakan publik.
Rp 12 Triliun yang Seharusnya Bisa Menyelamatkan Lebih Banyak Hal
Di tengah banyaknya bencana dan kondisi darurat yang terjadi di Indonesia, dana sebesar:
Rp 12 triliun
sebenarnya bisa:
- memperkuat penanganan darurat bencana
- membiayai hunian sementara dan permanen bagi korban
- memperbaiki infrastruktur rusak
- memperkuat logistik penyelamatan & kesehatan
- memastikan anak-anak korban bencana tetap mendapat akses pendidikan dan dukungan psikososial
Ini bukan hanya soal “uang bisa dipakai untuk hal lain”. Ini soal prioritas hidup orang.
Program yang Mulai Kehilangan Arah
Saat MBG dipaksakan tetap berjalan saat sekolah libur, muncul pertanyaan mendasar:
- ini program sekolah?
- atau bantuan sosial umum?
- atau proyek politik yang dipertahankan demi citra?
Jika targetnya gizi anak, kenapa tidak dirancang lebih fleksibel? Jika konteksnya kepentingan nasional, kenapa pemerintah seolah menutup mata terhadap sektor lain yang jauh lebih genting?
Risiko Pemborosan Semakin Besar
Dengan:
- hari efektif berkurang,
- akses penerima menurun,
- anggaran tetap keluar,
risiko pemborosan dan salah sasaran semakin nyata. Program seolah berjalan karena “harus jalan”, bukan karena benar-benar memberi dampak maksimal.
Kebijakan Publik Bukan Hanya Tentang Komitmen — Tapi Juga Kepekaan
Keputusan mempertahankan MBG saat libur menunjukkan:
- Pemerintah tidak cukup fleksibel.
- Pemerintah gagal membaca momentum.
- Pemerintah terlihat lebih menjaga program daripada menjaga efektivitas dan keselamatan warganya.
Padahal dalam situasi negara yang sedang menghadapi banyak krisis, kebijakan seharusnya adaptif, responsif, dan punya kepekaan sosial.
Kesimpulan
Secara gagasan, MBG itu baik. Anak bangsa berhak atas gizi layak. Tetapi kebijakan publik bukan hanya soal niat baik; ia juga tentang waktu yang tepat, desain yang efektif, dan prioritas yang benar.
Memaksa MBG tetap berjalan saat libur sekolah, sembari mengabaikan fakta bahwa sekitar Rp 12 triliun sebenarnya bisa diarahkan untuk kebutuhan bencana yang jauh lebih genting, membuat program ini terlihat semakin kehilangan arah.
Kalau pemerintah ingin program ini dipercaya publik, transparansi, penyesuaian kebijakan, dan keberanian membaca situasi nasional adalah hal yang tak bisa ditunda.


