CampusNet – Kritik sebagai ancaman sering muncul pada cara pandang pejabat. Pejabat kerap menganggap kritik sebagai serangan. Tak hanya itu, mereka juga menganggap bahwa ini bukan sebagai masukan untuk memperbaiki kinerja. Agar lebih jelas, berikut alasan mengapa pejabat masih menganggap kritik sebagai ancaman:
Takut Hilang Wibawa di Mata Publik
Banyak pejabat merasa kritik bisa menjatuhkan wibawa mereka. Alih-alih melihatnya sebagai masukan, mereka menganggap kritik sebagai upaya mempermalukan. Akibatnya, hubungan pejabat dan masyarakat jadi semakin renggang.
Padahal, menerima kritik justru bisa meningkatkan kepercayaan publik. Warga akan menilai pejabat lebih terbuka dan dewasa. Sikap ini pada akhirnya memperkuat posisi, bukan melemahkannya.
Kurangnya Budaya Transparansi
Di beberapa lembaga, transparansi belum menjadi kebiasaan. Faktanya, banyak pejabat masih menganggap kritik sebagai upaya membongkar kelemahan yang seharusnya ditutupi. Akibatnya, mereka cenderung defensif terhadap suara berbeda.
Namun, jika budaya transparansi diperkuat, kritik justru bisa menjadi pintu untuk perbaikan. Selain itu, pejabat akan lebih mudah menemukan solusi bersama masyarakat. Dengan demikian, kritik tidak lagi dipandang sebagai ancaman, melainkan sebagai peluang untuk
Rasa Tidak Nyaman dengan Perubahan
Di sisi lain, kritik juga menuntut perubahan, dan tidak semua pejabat siap dengan itu. Sebaliknya, mereka lebih memilih hidup di zona nyaman yang sudah ada. Akibatnya, kritik dilabeli sebagai gangguan yang mengusik.
Padahal, perubahan adalah bagian alami dari kepemimpinan. Melalui kritik, pejabat bisa melihat hal-hal yang sebelumnya terlewat. Dengan begitu, mereka bisa beradaptasi lebih cepat dan lebih baik.
Ketakutan pada Efek Politik
Bagi pejabat, kritik berpotensi menurunkan citra politik. Mereka khawatir kritik bisa dimanfaatkan lawan politik untuk menyerang. Ketakutan ini membuat pejabat menolak semua bentuk kritik.
Namun, menolak kritik justru bisa menjadi bumerang. Publik bisa menilai pejabat tidak terbuka pada masukan. Akhirnya, citra mereka rusak bukan karena kritik, tetapi karena cara menyikapinya.
Minimnya Literasi tentang Kritik Konstruktif
Sebagian pejabat belum bisa membedakan antara kritik membangun dan serangan personal. Semua bentuk kritik sama dengan negatif dan merugikan. Pola pikir ini memperkuat budaya anti kritik.
Jika literasi tentang kritik konstruktif ditingkatkan, pejabat bisa lebih bijak. Dengan begitu, budaya menerima kritik perlahan bisa tumbuh. Semoga pejabat kelak bisa mengerti akan semua hal yang sudah dibahas tadi. Panjang umur Indonesia!
Baca juga: Nir-Empati Pejabat Publik di Balik Kecemburuan Sosial