CampusNet – Musyawarah Nasional XVIII BEM Seluruh Indonesia (BEM SI) Kerakyatan yang digelar pada 13–19 Juli 2025 di Padang, Sumatera Barat, menyisakan tanda tanya besar mengenai arah gerakan mahasiswa hari ini. Alih-alih menjadi ruang konsolidasi perjuangan rakyat, forum ini justru diwarnai konflik internal, kehadiran elite politik, bahkan kericuhan fisik antarmahasiswa.
Dalam suasana seperti itu, sejumlah pihak memilih menarik diri dari forum. Bukan karena kekecewaan semata, tetapi sebagai bentuk penolakan terhadap praktik politisasi gerakan mahasiswa yang semakin vulgar. Dan bagi banyak dari kita yang masih peduli pada integritas gerakan, momen ini patut dijadikan bahan renungan: apa yang sebenarnya sedang diperjuangkan oleh mahasiswa hari ini?
Ketika Jabatan Menjadi Tujuan
Di berbagai diskusi informal yang beredar pasca-Munas, banyak cerita tentang perebutan posisi, lobbying internal, hingga ketegangan antara kelompok mahasiswa yang saling bersaing. Bahkan, dilaporkan ada dua peserta yang mengalami luka akibat konflik fisik.
Fenomena ini menyedihkan, tapi tidak mengejutkan. Kita telah lama menyaksikan pergeseran gerakan mahasiswa dari yang dulunya berorientasi pada substansi perjuangan, kini terjebak pada perebutan struktur dan jabatan kosong. Pertanyaannya: jika yang diperebutkan bukan gagasan, melainkan kursi—lalu apa beda gerakan mahasiswa dengan partai politik?
Dekatnya Gerakan dengan Kekuasaan
Yang paling mengusik dari Munas tersebut bukan hanya konflik internal, tetapi juga kehadiran sejumlah pejabat negara dan tokoh politik. Nama-nama seperti Ketum Partai Perindo, Menpora, Wakil Gubernur, hingga Kepala BIN Daerah disebut hadir dalam forum yang katanya berlabel “kerakyatan.”
Sebagian mungkin menganggap itu hal biasa. Tapi bagi mereka yang memahami pentingnya independensi gerakan mahasiswa, ini merupakan sinyal bahaya. Apalagi ketika terlihat karangan bunga dari Kepala BIN terpajang di depan ruang sidang utama—simbol kekuasaan yang terlalu dekat dengan ruang perjuangan mahasiswa.
Ketika gerakan mulai nyaman duduk di pangkuan kekuasaan, maka yang lahir bukan lagi perlawanan, melainkan akomodasi. Dan pada titik itu, gerakan kehilangan giginya.
Sejarah yang Semakin Dilupakan
Kita tidak kekurangan contoh tentang bagaimana gerakan mahasiswa memainkan peran penting dalam sejarah Indonesia. Reformasi 1998 adalah bukti paling konkret. Tapi semangat zaman itu dibangun atas dasar keberanian moral, bukan struktur formal.
Hari ini, kita melihat sesuatu yang berbeda. Arah gerakan mahasiswa lebih sibuk membangun birokrasi internal, mempercantik logo dan akun media sosial, serta mengatur protokoler acara, daripada memikirkan substansi perjuangan. Apakah ini bentuk kemajuan? Atau justru kemunduran yang dibungkus modernisasi?
Saatnya Refleksi Kritis
Keputusan beberapa pihak untuk menarik diri dari forum bukan akhir dari segalanya, tapi justru awal dari pertanyaan-pertanyaan penting yang harus dijawab bersama:
- Untuk siapa gerakan ini hadir?
- Apakah rakyat masih menjadi poros perjuangan, atau sudah digantikan oleh kepentingan elit?
- Apakah mahasiswa hari ini masih berani berdiri berseberangan dengan kekuasaan, atau justru mencari tempat di dalamnya?
Gerakan mahasiswa bisa mati, bukan karena represi dari luar, tapi karena kehilangan integritasnya sendiri. Dan saat itu terjadi, tidak akan ada lagi yang membedakan kita dari mereka yang dulu kita kritik.
Baca juga: BEM KM UGM Resmi Tarik Diri dari Aliansi BEM SI Kerakyatan