Bahasa Cia-Cia Hidup Lagi Lewat Hangeul di Buton

CampusNet – Masyarakat suku Cia-Cia di Kota Baubau, Sulawesi Tenggara, memilih cara tak biasa untuk melestarikan bahasa mereka. Mereka memakai aksara Korea, Hangul (Hangeul), untuk menulis bahasa Cia-Cia yang selama ini hanya hidup lewat tutur.

Langkah ini lahir dari kekhawatiran bahwa bahasa Cia-Cia bisa punah jika tidak segera didokumentasikan. Detik.com mencatat, adaptasi aksara Korea ini dimulai sejak Agustus 2009. Kini, menurut laporan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), upaya tersebut memasuki tahap baru: pengajaran formal di sekolah-sekolah.

Di SD Negeri Karya Baru di Kelurahan Karya Baru, Kecamatan Sorawolio, pembelajaran muatan lokal Bahasa Cia-Cia dengan aksara Hangeul sudah berjalan sejak awal 2024.

Kepala sekolah, Samsia Samiun, mengatakan pelajaran itu telah ada bahkan sebelum ia menjabat. Guru pengampu, Muhammad Rasyid, menambahkan bahwa materi diajarkan untuk siswa kelas 4 hingga 6 setiap hari Sabtu.

Daftar Isi

Proses Adaptasi Aksara

Sebelum mengenal Hangeul, masyarakat Cia-Cia tidak memiliki sistem tulisan yang tetap. Sejumlah ahli bahasa dari Korea Selatan datang ke Baubau dan menawarkan Hangeul karena aksara itu mampu menyesuaikan bunyi bahasa Cia-Cia lebih baik daripada huruf Latin atau Arab.

Pemerintah Kota Baubau kemudian menyetujui penggunaan Hangeul sebagai sistem penulisan resmi bahasa Cia-Cia pada 2009. Setelah keputusan itu, guru-guru mulai mengajar huruf Korea di sekolah dasar, dan warga menulis papan nama jalan serta fasilitas umum dengan aksara Hangeul.

Persepsi dan Dampak Menurut Penelitian

Penelitian yang dipublikasikan di ResearchGate (April 2025) mencatat sejumlah temuan menarik:

  • 48% responden mendukung perluasan pembelajaran Hangeul di sekolah.
  • 39% responden menilai aksara Korea memperkuat identitas suku Cia-Cia.
  • 74% responden menyebut penggunaan aksara ini belum memicu pergeseran budaya, meski beberapa warga tetap khawatir akan pengaruh budaya asing.

Warga Cia-Cia kini menulis kosakata, cerita rakyat, dan bahan ajar dengan Hangeul. Anak-anak mulai membaca dan menulis bahasa daerah mereka sendiri. Banyak generasi muda merasa bangga karena bisa memakai bahasa lokal dengan cara modern.

Namun, mereka juga menghadapi banyak hambatan. Sebagian warga belum mau belajar Hangeul. Sekolah masih kekurangan guru dan buku. Sebagian pengamat menilai bahwa penggunaan aksara Korea tidak cukup jika masyarakat tidak memakai bahasa Cia-Cia dalam percakapan sehari-hari.

Apakah Sudah “Hidup Lagi”?

Jika masyarakat menilai keberhasilan dari keberadaan sistem tulisan dan pelajaran di sekolah, mereka sudah menghidupkan kembali bahasa Cia-Cia. Namun jika tolok ukurnya adalah penggunaan luas di rumah, pasar, dan media lokal, perjuangan mereka belum selesai.

Inisiatif ini menunjukkan bahwa pelestarian bahasa tidak harus bergantung pada cara lama. Masyarakat Cia-Cia memilih kolaborasi lintas budaya untuk menjaga identitas mereka. Agar usaha ini bertahan, mereka perlu terus menulis, membaca, dan menuturkan bahasa Cia-Cia dalam kehidupan sehari-hari.

Aksara hanyalah sarana. Bahasa akan benar-benar hidup ketika penuturnya terus memakainya, bukan sekadar mengajarkannya.

Baca Juga: Belajar Bahasa Asing Ini Bantu Isi Masa Liburan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Banner TikTok