CampusNet – Menggandrungi gawai adalah kebutuhan mayoritas generasi yang ada di bumi saat ini. Di balik berjuta unggahan konten, terselip bahaya yang mengintai generasi dengan usia muda, Generasi Z dan Alpha. Brain rot atau pembusukan otak hadir, bukan lagi frasa dengan pemakai tertinggi. Frasa ini cerminan tantangan dan dampak setiap manusia di era modern saat mata menatap gawai dan tangan bergulir (scrolling).
Mengutip Kompas.id, Jajak Pendapat Litbang Kompas pada 21-27 April 2025 terhadap 510 responden memperlihatkan, 67,78 persen mengalami gangguan fisik dan 23,33 persennya merasakan gangguan psikis akibat terlalu lama menggunakan gawai. Dari data serupa, 71,09 persen dengan responden dari Generasi Z mengalami gangguan fisik, psikis, dan malas bersosialisasi karena terlalu lama berhadapan dengan gadget.
Gangguan psikis dan fisik pada Gen Z tentu menghambat performa dalam menjalani pembelajaran. Brain rot identik dengan anomali pada animasi dan muatan konten yang dengan durasi cepat namun dangkal. Sebagai Kata Terpilih Tahun 2024 yang dinobatkan Penerbit Universitas Oxford Inggris, frasa ini menggambarkan kemunduran kondisi mental dan intelektual karena konsumsi eksesif konten yang cepat dan dangkal.
Preferensi pengguna media sosial pada video pendek memang semakin kuat. Laporan “Indonesia Gen Z Report 2024” yang diterbitkan IDN Times dan Populix menunjukkan, meski 60 persen Gen Z mengonsumsi konten dengan kombinasi video, visual, dan tulisan, sebanyak 29 persen masih lebih menyukai format video.
Brain Rot Memengaruhi otak
Dalam konteks pendidikan, konsumsi konten dengan kaulitas rendah membuat otak bekerja secara pasif. Mengutip kompas.id, Okki Sutanto berpendapat bahwa fungsi otak terbatas pada mengigat atau memahami dasar tanpa menganalisa dan evaluasi bila mengonsumis konten brain rot. Penulis dan pengamat sosial itu menambahkan, fenomena ini membuat konsumen konten condong mindless consumption (konsumsi impulsif) dan berpikir tingkat rendah.
Muatan informasi yang banyak namun dicerna dalam waktu singkat menghambat kinerja otak. Dari seumber serupa, psikolog pendidikan dan perkembangan, Jati Ariati, mengungkapkan bahwa otak yang disibukkan dengan informasi yang tidak relevan dapat memperlambat respon terhadap masalah. Respon terhadap masalah yang lambat turut membuat ketajaman berpikir dalam mengambil keputusan menjadi lemah.
Over Konsumsi yang Membahayakan
Eksisnya fenomena ini tentu menjadi tantangan bagi 52 juta pelajar di pendidikan dasar sampai atas dan 9 juta pelajar di pendidikan tinggi. Di tengah tuntutan pemanfaatan perangkat digital, selalu ada kesempatan untuk akses ke konten-konten yang tidak substansial. Jika over konsumsi, pelajar bisa kehilangan daya fokus pada pembelajaran. Alih-alih belajar duduk lama membaca buku atau memahami materi, pikiran dan motivasi justru melayang pada keinginan mendapat stimulus melalui berbagai konten di luar konteks belajar dan relevansi.
Lantas, apa strategi normatif sederhana dalam meminimalisir dampak fenomena ini? Setidaknya ada dua anjuran untuk mengurangi kebiasaan yang menumbuhkan brain rot: pemilahan konten antara yang relevan dan tidak serta interaksi dengan sesama. Melansir Kompas.id, Theresia Citranigtyas mengungkapkan perlunya nutrisi digital. Anak perlu dibimbing dalam memilih konten yang relevan dengan usia dan konteks pendidikan.
Kemudian anak perlu memperbanyak aktivitas yang melibatkan dimensi sosial, seperti organisasi bersama rekan-rekan seusia atau sekadar berbicang dengan orangtua. Kegiatan itu dapat dilakukan dengan absennya peranti elektronik yang bisa memicu distraksi. Dialog bisa membuka pengalaman, perasaan, dan pemikiran satu individu dengan terhadap yang lain.
Keberadaan konten-konten pemicu brain rot mengkhawatirkan situasi belajar, namun juga tantangan dalam mengoptimalkan pemilihan konten dan percakapan yang bermakna dengan sesama di era digital. Di rumah, pelajar bisa belajar berkolaborasi secara nyata dengan anggota keluarga lain dalam menjaga kesehatan otak dan keseluruhan diri.
Baca juga: Fenomena Dunia Pendidikan, Psikolog IPB: Brain Rot Bisa Menurunkan Motivasi Belajar