CampusNet – Brutalitas polisi dan aparat di Indonesia masih menjadi isu serius yang menuai sorotan publik, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Istilah “brutalitas aparat” merujuk pada penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh petugas keamanan, seperti polisi, tentara, maupun satuan pengamanan lain. Bentuknya beragam: mulai dari kekerasan fisik, intimidasi, penangkapan sewenang-wenang, hingga penggunaan senjata yang berlebihan terhadap warga sipil.
Fenomena ini bukan hal baru. Sejak masa Orde Baru, aparat keamanan kerap digunakan sebagai alat negara untuk membungkam kritik. Reformasi 1998 seharusnya membuka jalan ba gi demokrasi yang lebih sehat dan akuntabel, tetapi praktik kekerasan aparat ternyata masih terus terjadi. Kasus-kasus baru bermunculan setiap tahun dan menimbulkan trauma kolektif di masyarakat.
Kasus-kasus Brutalitas Polisi di Indonesia
Brimob yang Melindas Ojol hingga Tewas
Pada 28 Agustus 2025, seorang driver ojek online bernama Affan Kurniawan tewas setelah terlindas mobil rantis Brimob saat demo di depan Gedung DPR Jakarta. Affan yang sedang mengantar orderan terjatuh dan tertabrak kendaraan tersebut yang tidak berhenti, menyebabkan kemarahan publik dan penyelidikan terhadap tujuh anggota Brimob yang terlibat, sementara keluarga korban menuntut keadilan atas insiden yang dianggap sebagai kekerasan berlebihan aparat keamanan.
Kejadian ini memicu kemarahan publik dan protes komunitas ojol, diikuti penyelidikan terhadap tujuh anggota Brimob yang diduga terlibat, serta permintaan maaf dari Kapolri dan tuntutan keadilan dari keluarga korban atas tindakan kekerasan aparat yang berlebihan.
Tragedi Kanjuruhan
Beberapa kasus brutalitas polisi yang menjadi sorotan antara lain peristiwa Tragedi Kanjuruhan 2022. Saat itu, penggunaan gas air mata di dalam stadion memicu kepanikan massal, yang berujung pada ratusan korban jiwa. Insiden tersebut membuka mata dunia tentang lemahnya pengawasan terhadap penggunaan kekuatan aparat di Indonesia.
Aksi Mayday
Paramedis yang berusaha memberikan pertolongan kepada demonstran yang terluka justru menjadi sasaran kekerasan. Contohnya, seorang paramedis bernama Cho Yong Gi dipiting, dipukul, dan diinjak oleh polisi hingga kesulitan bernapas.
Selain itu, Seorang perempuan dari tim medis bernama Jorgiana juga mengalami pelecehan seksual oleh aparat kepolisian, termasuk diteriaki dengan kata-kata kasar seperti “lonte”, “pukimak” dan sentuhan tidak senonoh. Polisi juga berniat untuk menelanjanginya walaupun Jorgiana tidak melakukan kesalahan apapun.
Penyebab terjadinya brutalitas aparat
Ada beberapa faktor yang membuat brutalitas aparat terus terjadi di Indonesia. Pertama, budaya impunitas. Banyak aparat yang terlibat kekerasan tidak mendapatkan hukuman setimpal. Sanksi internal sering kali ringan, bahkan hanya berupa mutasi atau teguran. Hal ini membuat pelaku merasa kebal hukum.
Kedua, lemahnya mekanisme pengawasan. Lembaga seperti Kompolnas (Komisi Kepolisian Nasional) atau Komnas HAM memang ada, tetapi kewenangannya terbatas. Mereka hanya bisa memberikan rekomendasi, sementara keputusan akhir tetap berada di internal kepolisian atau institusi terkait.
Ketiga, pola pendidikan dan pelatihan aparat yang masih menekankan pendekatan represif. Alih-alih mengutamakan pendekatan humanis, aparat sering dilatih untuk melihat massa sebagai ancaman yang harus ditundukkan.
Dampak terhadap masyarakat dan demokrasi
Brutalitas aparat menimbulkan dampak serius bagi kehidupan demokrasi di Indonesia. Kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian terus menurun. Warga yang seharusnya merasa dilindungi malah merasa takut ketika berhadapan dengan polisi. Dalam jangka panjang, hal ini bisa merusak hubungan antara masyarakat dan negara.
Selain itu, tindakan represif aparat bisa membungkam kebebasan berpendapat. Demonstrasi yang seharusnya menjadi sarana menyampaikan aspirasi rakyat justru berubah menjadi medan ketakutan. Jika hal ini terus dibiarkan, demokrasi di Indonesia hanya akan menjadi formalitas tanpa esensi.
Harapan publik jelas: polisi dan aparat bukanlah alat kekuasaan, melainkan pelindung rakyat. Mengembalikan fungsi tersebut adalah langkah penting menuju Indonesia yang lebih demokratis, adil, dan manusiawi.
Baca juga: Represif yang Dilegalkan: Peluru Karet, Tepuk Tangan, dan Rakyat yang Kian Tertekan


