CampusNet – Fase kehidupan selalu berjalan maju dan akan terus-menerus sepoerti itu. Banyak orang berkata bahwa masa terindah adalah saat masa sekolah, khsususnya saat masa SMA. Banyak kenangan, peristiwa, hal konyol dan hal yang tak terlupakan ketika berada dimasa tersebut. Ketika seseorang sudah melangkahkan kaki lebih jauh dan berpindah dari masa SMA menuju masa perkuliahan, hal tersebut adalah sebuah milestone yang perlu dihadapi seseorang untuk menuntut ilmu yang lebih tinggi dan beradaptasi dengan lingkungan baru kembali.
Apalagi bagi seseorang yang memutuskan untuk merantau demi mengikuti perkuliahannya. Kemampuan adaptasi sangat diperlukan ketika berada difase ini. Bertemu dengan orang-orang yang sangat berbeda dari latar belakangnya, perbedaan budaya, perbedaan bahasa hampir pasti dirasakan oleh seseorang yang sedang merantau baik dalam maupun luar negeri.
Apa itu Culture Shock?
Salah satu gejala yang dirasakan oleh perantau termasuk mahasiswa adalah culture shock atau gegar budaya. Mengutip dari Jurnal Ilmu Komunikasi dan Media Sosial (JKOMDIS), culture shock merupakan reaksi stres yang disebabkan oleh ketidakmampuan seseorang dalam beradaptasi dengan budaya baru. Gejalanya bisa berupa kecemasan, kebingungan, isolasi diri, frustrasi dan depresi. Culture shock memberikan efek negatif tersebut karena seseorang mendapatkan unsur-unsur kebudayaan asing yang tidak sesuai dengan kebudayaan dari tempat dirinya berasal seperti, gaya hidup, makanan, bahasa, norma dan nilai-nilai sosial.
Menghadapi gegar budaya ini, seseorang sudah semestinya memiliki kemampuan adaptasi yang mumpuni dan kemampuan untuk berkomunikasi yang baik. Apabila kedua kemampuan ini kurang dimiliki oleh seorang perantau, maka efek negatif dari culture shock ini akan semakin parah. Home sick atau rasa rindu rumah akan muncul jika kemampuan adaptasi dan komunikasi mereka tidak mencukupi. Selain itu, contoh nyata ketika seseorang mengalami culture shock adalah dirinya lebih sering membeli makanan secara online.
Bagaimana Cara Menghadapinya?
Mengutip dari Jurnal Ilmu Komunikasi dan Media Sosial, jika hal-hal negatif ini tidak segera ditangani, akan memengaruhi hasil akademik. Maka dari itu, bantuan teman maupun pihak universitas sangat dibutuhkan untuk membantu seorang mahasiswa lepas dari gegar budaya. Penelitian tersebut juga menemukan bahwa mahasiswa yang mampu untuk membangun jaringan sosial selama merantau cenderung lebih mudah untuk beradaptasi dan meminimalisir perasaan kehilangan dan kekurangan status sosial.
Berdasarkan jurnal yang berjudul “GEJALA CULTURE SHOCK PADA MAHASISWA RANTAU DI YOGYAKARTA”, salah satu hal yang bisa meredakan gejala negatif dari culture shock adalah memanfaatkan pertemanan yang dibangun selama menjalani masa perkuliahan. Jika menemukan lingkar pertemanan yang positif, hal itu dapat membantu seseorang untuk menghadapi gegar budaya. Mereka akan sering bercerita dan menghabiskan waktunya bersama teman agar beban yang selama ini ditanggung bisa dilepaskan sementara.
Bagi seorang mahasiswa, kemampuan akademik memang penting untuk keberlangsungannya dalam menjalani perkuliahan. Namun, kemampuan bersosialisasi dan adaptasi seseorang juga perlu untuk dikembangkan lagi. Hal tersebut berlaku bagi mahasiswa yang berdomisili sama dengan tempatnya berkuliah maupun mahasiswa yang merantau.
Culture shock yang dialami mahasiswa perantau sangatlah wajar terjadi dan hal tersebut harus dihadapi. Membuka diri terhadap orang-orang sekitar, beradaptasi dengan lingkungan serta kemauan untuk berkomunikasi merupakan faktor penting ketika seseorang sedang merantau. Kemampuan tersebut berdasarkan penelitian mampu untuk mengurangi beban yang ditimbulkan oleh culture shock atau gegar budaya.