Dosa Besar Pendidikan sebagai Tantangan Nyata Kampus Modern

CampusNet – Dosa besar pendidikan menggambarkan tiga ancaman serius yang menggerogoti fondasi pendidikan kita, yaitu perundungan, kekerasan seksual, dan intoleransi. Ketika fenomena ini merajalela, maka mahasiswa tidak dapat belajar dengan nyaman, tumbuh, dan berkembang secara optimal. Karena itu, kampus harus bertindak tegas, sistematis, dan konsisten dalam mencegah, mengatasi, dan menghapus praktik-praktik tersebut agar tercipta lingkungan akademik yang aman dan inklusif.

Kemendikbudristek mengecam ketiga dosa ini dan menggalang kerja sama dengan berbagai pihak untuk memberantasnya, dengan dasar aturan seperti Peraturan Mendikbud No. 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan. Data dan laporan juga semakin mempertegas urgensi penanganan, karena perundungan, kekerasan seksual, maupun intoleransi menimbulkan dampak psikologis yang mendalam hingga mengganggu prestasi akademik dan kesejahteraan mahasiswa.

Strategi Kampus Mengatasi Dosa Besar Pendidikan

Dalam lingkungan kampus, dosa besar pendidikan harus ditransformasikan menjadi panggilan untuk berbenah. Kampus harus aktif membangun kebijakan yang melindungi dan memberdayakan mahasiswa, seperti:

  1. Menerapkan prosedur transparan dan aman bagi korban untuk melapor, termasuk mekanisme dukungan psikososial dan penanganan kasus penindasan—baik fisik maupun siber.
  2. Memberikan pelatihan intensif kepada dosen, staf, dan tenaga kependidikan untuk mengenali, mendeteksi, serta merespons tanda-tanda perundungan, kekerasan seksual, dan intoleransi secara tepat.
  3. Mengintegrasikan nilai-nilai toleransi, empati, dan inklusi ke dalam kurikulum dan kegiatan kampus, misalnya dalam diskusi lintas budaya, workshop anti-bullying, serta seminar kesetaraan gender.
  4. Membentuk unit atau satgas internal yang secara proaktif bertugas menanggulangi dan mencegah pelanggaran, serta memastikan adanya pelaksanaan sanksi terhadap pelaku sekaligus pendampingan terhadap korban.

Dengan langkah-langkah tersebut, kampus mendorong setiap individu untuk berkontribusi aktif menumbuhkan budaya saling menghormati, yang pada gilirannya dapat menekan bahkan menghapus jejak dosa besar pendidikan.

Lebih jauh lagi, dosa besar pendidikan tidak hanya merugikan individu, tetapi juga melemahkan citra dan integritas lembaga pendidikan. Ketika mahasiswa merasa aman, dihargai, dan dilindungi, mereka akan belajar lebih baik, berinovasi tanpa takut, dan berkembang menjadi pemimpin yang berkarakter. Sebaliknya, jika perundungan, kekerasan seksual, dan intoleransi dibiarkan, mereka meninggalkan trauma, merusak hubungan sosial, dan menciptakan lingkungan yang beracun—bahkan menjauhkan dunia kampus dari nilai-nilai akademik dan kemanusiaan yang luhur.

Maka dari itu, kolaborasi antarpihak—dari pemerintah, universitas, mahasiswa, hingga masyarakat luas—harus berjalan secara sinergis dan berkesinambungan. Kampus harus menjadi motor penggerak perubahan, sementara mahasiswa dan staf menjadi pelaksana prinsip keadilan, etika, serta tanggung jawab kolektif.

Sebagai pusat intelektual dan sosial, kampus harus bersikap tegas, sadar, dan aktif memberantas dosa besar pendidikan. Jika perundungan, kekerasan seksual, dan intoleransi berhasil dihentikan melalui kebijakan tegas serta tindakan nyata, maka kampus akan menjadi ruang yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga aman, inklusif, dan berperikemanusiaan.

Baca juga: Loh, Ternyata Kita Harus Maafkan Koruptor?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *