Gerakan Mahasiswa: Antara Panggung Seremonial dan Substansi yang Hilang

Apakah Gerakan Mahasiswa Masih Relevan?

CampusNet – Pertanyaan ini belakangan semakin menggema, terutama setelah Musyawarah Nasional XVIII BEM Seluruh Indonesia (BEM SI) Kerakyatan yang digelar pada Juli 2025 di Padang memunculkan berbagai kontroversi. Dari perebutan jabatan, kehadiran elite politik dan aparat, hingga kericuhan fisik antarmahasiswa—semuanya menjadi potret muram kondisi gerakan mahasiswa hari ini.

Padahal, sejarah telah mencatat peran besar mahasiswa dalam mendorong perubahan sosial dan politik. Namun kini, simbol-simbol perjuangan seolah tinggal dekorasi dalam panggung seremonial yang kehilangan makna. Gerakan mahasiswa, ironisnya, semakin terjebak dalam formalitas dan kehilangan arah substansial.

Dari Basis Perlawanan ke Ruang Lobby Kekuasaan

Gerakan mahasiswa sejatinya lahir sebagai oposisi moral. Ia tidak memiliki kepentingan kekuasaan, tetapi membawa suara-suara yang tidak terdengar di pusat keputusan. Namun realitas hari ini berkata lain.

Kehadiran tokoh-tokoh politik dan aparat negara di forum mahasiswa seharusnya menjadi lampu merah. Ketika kepala lembaga intelijen daerah dan pejabat pemerintah hadir dalam forum yang katanya “kerakyatan,” kita patut bertanya—siapa yang sebenarnya sedang mengendalikan arah gerakan ini?

Ketika mahasiswa sibuk membangun relasi vertikal dengan kekuasaan, maka celah untuk berpihak ke rakyat semakin menyempit.

Jabatan Jadi Tujuan, Bukan Alat Perjuangan

Di banyak organisasi kemahasiswaan, struktur kini lebih penting dari isi. Posisi ketua, koordinator, dan juru bicara menjadi rebutan, bukan karena tanggung jawab yang melekat, tetapi karena prestise yang ditawarkan. Padahal, dalam sejarahnya, jabatan di organisasi mahasiswa bukan tujuan akhir, melainkan hanya kendaraan menuju gerakan yang lebih luas.

Namun kini, jabatan struktural sering kali diperlakukan seperti tiket masuk ke panggung nasional. Bukan lagi alat perjuangan, melainkan pencapaian pribadi. Ini adalah bentuk krisis yang lebih dalam dari sekadar konflik internal.

Pendidikan Politik: Pilar yang Terabaikan

Salah satu akar dari lemahnya arah gerakan hari ini adalah minimnya pendidikan politik di internal organisasi mahasiswa. Banyak kader naik ke posisi penting tanpa pemahaman utuh tentang sejarah perjuangan, nilai-nilai kerakyatan, atau konsekuensi dari sikap politik mereka.

Tanpa fondasi ideologis yang kuat, organisasi akan mudah terseret arus pragmatisme dan co-optation oleh kekuasaan. Maka, regenerasi dalam gerakan mahasiswa bukan hanya soal pergantian jabatan, tetapi proses pembentukan kesadaran—bahwa menjadi bagian dari gerakan berarti berpihak, bukan hanya berposisi.

Membangun Ulang Gerakan dari Akar

Saat ini, mungkin sudah saatnya berhenti membangun panggung besar. Yang kita butuhkan bukan forum nasional yang penuh konflik, melainkan ruang-ruang kecil yang jujur. Diskusi di sudut kampus, aksi lokal di depan kantor desa, advokasi komunitas pinggiran—itulah akar dari gerakan yang sejati.

Gerakan mahasiswa tidak harus selalu berskala nasional. Ia bisa tumbuh secara organik, selama tetap berpihak pada yang lemah dan marjinal. Tidak perlu menunggu forum besar untuk mulai bergerak. Yang dibutuhkan hanyalah keberanian untuk menolak tunduk dan keberpihakan yang konsisten.

Penutup: Jangan Mati Karena Lupa Arah

Gerakan mahasiswa tidak akan mati karena ditekan oleh penguasa. Ia mati ketika mulai nyaman dengan kekuasaan. Ia mati ketika sibuk mempercantik struktur dan lupa membangun substansi.

Mahasiswa harus kembali bertanya: Apakah aku bergerak untuk rakyat, atau demi diriku sendiri?

Jawaban dari pertanyaan itu akan menentukan: apakah gerakan ini akan bangkit kembali, atau hilang ditelan waktu sebagai nama tanpa makna.

Baca juga: Antara Jabatan dan Perjuangan: Ke Mana Arah Gerakan Mahasiswa Kini?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *