CampusNet – Slogan “Jangan Ganggu Orang Miskin,” menegaskan bahwa kebijakan tidak boleh merugikan masyarakat kecil. Namun, apakah janji ini dapat wujud di tengah realitas kebijakan yang kerap memprioritaskan stabilitas ekonomi di atas kesejahteraan rakyat?
Novel The Grapes of Wrath karya John Steinbeck menjadi relevan dalam konteks ini. Menawarkan kritik tajam terhadap sistem ekonomi yang mengorbankan kaum miskin demi kepentingan segelintir elite.
Potret Kaum Miskin dalam The Grapes of Wrath
Novel ini mengisahkan keluarga Joad, petani dari Oklahoma yang terpaksa meninggalkan tanah mereka akibat krisis ekonomi dan kebijakan korporasi besar yang memonopoli pertanian. Mereka bermigrasi ke California dengan harapan mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Tetapi justru menghadapi eksploitasi tenaga kerja, ketidakadilan sosial, dan kebijakan yang tidak berpihak pada kaum miskin.
Steinbeck menggambarkan bagaimana pengelolaan sistem ekonomi tanpa mempertimbangkan kesejahteraan rakyat kecil dapat menciptakan jurang kesenjangan yang semakin lebar.
Paralel dengan Indonesia: Efisiensi Ekonomi vs. Kepentingan Rakyat
Dalam kebijakan efisiensi anggaran Prabowo, pemerintah menjanjikan bahwa sektor pendidikan dan program sosial tidak akan terdampak. Namun, seperti dalam The Grapes of Wrath, selalu ada kekhawatiran bahwa efisiensi ini lebih menguntungkan korporasi dan pemerintah daripada rakyat kecil. Jika efisiensi dengan memangkas program yang mendukung kesejahteraan masyarakat miskin, apakah janji “Jangan Ganggu Orang Miskin” benar-benar dapat bertahan?
Misalnya, pemotongan perjalanan dinas dan seminar bisa terlihat sebagai langkah positif, tetapi jika itu berdampak pada pelatihan guru atau pengembangan kebijakan pendidikan, masyarakat kelas bawah tetap menjadi pihak yang paling rentan terkena dampaknya. Seperti pengalaman keluarga Joad, kebijakan yang terlihat netral di atas kertas sering kali berdampak besar pada mereka yang berada di lapisan bawah masyarakat.
Ketimpangan Sosial: Kritik Steinbeck yang Masih Relevan
Steinbeck tidak hanya menceritakan penderitaan keluarga Joad, tetapi juga mengkritik sistem kapitalisme yang gagal melindungi kaum miskin. Novel ini menyoroti bagaimana kekuasaan ekonomi sering kali terkonsentrasi pada segelintir orang, sementara mereka yang bekerja keras tetap hidup dalam kemiskinan. Kritik ini masih relevan di Indonesia, di mana ketimpangan ekonomi masih menjadi isu utama meskipun ada berbagai program bantuan sosial.
Prabowo menegaskan bahwa pemerintahannya akan berpihak pada rakyat kecil, tetapi sejarah menunjukkan bahwa kebijakan ekonomi sering kali tidak berjalan sesuai dengan janji politik. Jika efisiensi anggaran tidak bersamaan dengan transparansi dan kebijakan yang benar-benar melindungi masyarakat miskin. Maka narasi yang dalam The Grapes of Wrath dapat kembali menjadi kenyataan di era modern.
The Grapes of Wrath bukan sekadar novel sejarah, tetapi juga peringatan bagi setiap pemerintahan agar tidak mengabaikan rakyat kecil dalam kebijakan ekonomi. Namun, seperti dalam kisah keluarga Joad, janji politik harus selalu ada pengawasan agar tidak menjadi sekadar retorika tanpa implementasi nyata. Efisiensi ekonomi harus dengan pendekatan yang berkeadilan agar benar-benar membawa manfaat bagi seluruh masyarakat, bukan hanya bagi segelintir elite.