Kasus ASDP dan Akuisisi PT Jembatan Nusantara: Korupsi atau Keputusan Bisnis yang Dipidanakan?

CampusNet – Kasus yang menjerat mantan Direksi PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) ramai diperbincangkan. Banyak orang mungkin hanya membaca judul berita dan langsung menyimpulkan: “Ini kasus korupsi besar.”

Namun semakin dalam publik mengikuti perkembangannya, pertanyaan lain mulai muncul:
Benarkah ini murni korupsi?
Atau ini adalah keputusan bisnis—yang kebetulan hasilnya tidak sesuai ekspektasi—lalu berubah menjadi kasus pidana?

Di tengah transformasi BUMN dan dorongan pemerintah untuk berani mengambil risiko strategis, kasus ini terasa sensitif.
Dan bagi sebagian orang, janggal.

Apa yang Sebenarnya Terjadi?

Kasus ini bermula dari proses kerja sama usaha hingga akuisisi PT Jembatan Nusantara (PT JN) oleh ASDP pada periode 2019–2022.

PT JN sendiri merupakan perusahaan yang mengoperasikan armada kapal penyeberangan di sejumlah lintasan nasional. Akuisisi ini dinilai sebagai bagian dari strategi konsolidasi ekosistem bisnis penyeberangan yang selama ini terbagi-bagi antara BUMN dan swasta.

Namun dari sudut pandang penegak hukum, proses tersebut dinilai bermasalah. Penuntut umum menyebut negara dirugikan sekitar Rp 1,25 triliun, karena nilai akuisisi dianggap lebih tinggi dari nilai aset wajar dan proses administrasi disebut tidak mengikuti urutan formal yang ideal.

Dari sinilah dakwaan korupsi muncul.

Tapi Faktanya Tidak Sesederhana Itu

Yang membuat kasus ini ramai bukan hanya nilai kerugiannya, tetapi bagian yang hilang dari narasi umum.

Beberapa poin penting yang muncul selama persidangan justru memunculkan tanda tanya besar:

  • Tidak ditemukan aliran dana ke rekening pribadi direksi.
  • Tidak ada suap, tidak ada gratifikasi.
  • Semua keputusan dilakukan melalui rapat resmi direksi dan komisaris.
  • Proses ini diketahui kementerian terkait dan melalui skema formal korporasi.

Salah satu hakim bahkan memberikan dissenting opinion—pendapat berbeda—yang menyebut bahwa apa yang dilakukan para direksi lebih tepat dikategorikan sebagai keputusan bisnis, bukan tindakan korupsi.

Di dunia korporasi, ini dikenal sebagai prinsip Business Judgment Rule:

Keputusan bisnis yang diambil secara rasional, transparan, dan melalui mekanisme yang sah—tidak dapat dipidana hanya karena hasil akhirnya merugikan.

Dampaknya Lebih Luas dari Sekadar Hukuman

Kasus ini menimbulkan efek lain yang tidak kalah penting: ketakutan dalam pengambilan keputusan di lingkungan BUMN.

Karena jika keputusan investasi—yang wajar dalam dunia bisnis karena selalu mengandung risiko—bisa berakhir di pengadilan, maka akan muncul efek domino:

  • Manajemen akan lebih memilih bermain aman daripada berinovasi.
  • Transformasi digital dan ekspansi bisnis BUMN bisa berjalan lambat.
  • Profesional muda di BUMN bisa merasa: “Mengambil keputusan strategis berisiko karir dan kebebasan.”

Pertanyaan seperti ini mulai bermunculan di ruang publik:
Apakah negara sedang memerangi korupsi, atau mematikan keberanian mengambil keputusan?

Kasus Ini Menguji Tiga Hal Penting

1. Batas antara risiko bisnis dan tindakan pidana.
Apakah semua kerugian perusahaan otomatis disebut kerugian negara?

2. Siapa yang berwenang menghitung kerugian negara?
Apakah harus audit resmi negara—atau cukup penilaian ekonomis internal?

3. Masa depan tata kelola BUMN.
Apakah inovasi akan dihargai, atau takut salah akan menjadi budaya baru?

Kesimpulan: Kasus Ini Masih Jauh dari Selesai

Kasus ASDP bukan hanya tentang angka, aset kapal, atau dokumen legal. Ini tentang arah tata kelola BUMN ke depan—tentang garis tipis antara korupsi dan keputusan bisnis yang dihukum karena tidak sempurna.

Karena pada akhirnya, publik berhak tahu:

Apakah ini upaya membersihkan BUMN dari praktik salah — atau kriminalisasi terhadap mereka yang mencoba menjalankan perubahan?

Sampai semua pertanyaan itu dijawab, kasus ini akan tetap menjadi simbol:
Benturan antara hukum, bisnis, dan keberanian mengambil keputusan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Banner TikTok