Campusnet – Kesepian Generasi Z. Rutinitas terasa menyenangkan. Bertugas terasa mengasyikkan. Semua membantu pikiran terarah pada perkara eksternal. Berorganisasi menciptakan koneksi dan sekumpulan informasi yang bisa dibagikan ke berbagai arah. Namun, koneksi macam apa yang dibangun dalam kedigdayaan digital saat ini?
Benarkah di zaman yang memudahkan manusia untuk saling berkoneksi lintas wilayah, masih terselip ruang kehampaan karena ketiadaan relasi yang bermakna satu sama lain? Fenomena kesepian ini mengemuka lewat dua artikel Kompas edisi 30 Juli 2025: “Kesepian Menggerogoti Tubuh dan Jiwa” serta “Remaja Indonesia Makin Cemas dan Kesepian”. Keduanya menyoroti bagaimana rasa kesepian di kalangan remaja Indonesia, khususnya Gen Z, telah menjadi ancaman serius.
Salah satu temuan penting dari Tim Jurnalisme Data Harian Kompas adalah korelasi antara kesepian dan keinginan bunuh diri yang mencapai 0,44 poin. Bahkan, korelasi ini lebih tinggi dibanding penyakit mental dan fisik lainnya. Ini artinya, kesepian bisa menjadi pemicu utama percobaan bunuh diri.
Mengutip data Global School-based Student Health Survey (GSHS), perbandingan data tahun 2015 dan 2023 menunjukkan peningkatan remaja Indonesia yang ingin bunuh diri dari 5,2 persen menjadi 8,5 persen. Kenaikan ini bukan sekadar angka. Ia merepresentasikan perasaan terisolasi yang dialami generasi yang seharusnya tumbuh di tengah kemudahan komunikasi.
Studi dari Universitas Indonesia yang dikutip Detik.com (24 Juli 2025) juga menunjukkan bahwa 7 dari 10 remaja Indonesia pernah merasa kesepian, bahkan ketika berada di tengah keramaian. Akar masalahnya beragam: tekanan akademik, ekspektasi sosial, dan penggunaan media sosial yang lebih menekankan kuantitas pertemanan dibanding kualitas relasi.
Gawai yang melekat pada genggaman tangan Gen Z menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi, ia membuka akses informasi dan komunikasi. Di sisi lain, ia menggeser minat pertemanan fisik menjadi hubungan virtual yang dangkal. Pandemi Covid-19 memperkuat pola ini, di mana interaksi langsung digantikan layar. Koneksi digital menjadi substitusi relasi nyata.
Peneliti BRIN, Tin Afifah, menjelaskan dalam wawancaranya dengan Kompas bahwa kesepian yang dialami remaja dapat memengaruhi tumbuh kembangnya hingga dewasa. Ketiadaan teman dekat dapat menyuburkan kecemasan sosial yang tak terlihat mata.
Kampus Perlu Tanggapi Kesepian Generasi Z
Fenomena ini menjadi refleksi bersama bagi institusi pendidikan, keluarga, dan komunitas. Dunia kampus sebagai ruang transisi menuju kedewasaan perlu melihat ini bukan semata urusan psikologis, tetapi juga sosial. Relasi yang bermakna tak lahir dari sekadar tugas kelompok atau interaksi dalam organisasi. Ia dibangun lewat ruang aman untuk saling mendengar dan menerima perbedaan.
Perlu diciptakan ekosistem kampus yang suportif dan sadar akan kesehatan mental mahasiswanya. Komunitas hobi, kegiatan lintas jurusan, mentoring senior-junior, serta diskusi terbuka bisa menjadi wadah memperkuat solidaritas.
Kesepian bukan hanya masalah sunyi. Ia adalah seruan agar kita tak hanya terhubung lewat sinyal, tapi juga melalui empati dan kehadiran nyata. Kini saatnya kampus tak lagi sekadar tempat belajar, tapi juga ruang pulih dan bertumbuh bersama.
Baca juga: Diskoneksi Sosial di Era Koneksi Digital? Jurnal Harian Jadi Solusi