Kunker Prabowo ke Pakistan Picu Kritik di Tengah Banjir Sumatra

CampusNet – Situasi di beberapa wilayah Sumatra masih belum pulih setelah banjir besar yang merusak permukiman, jembatan, serta fasilitas dasar. Ribuan warga masih bertahan di lokasi pengungsian dan sejumlah daerah belum tersentuh bantuan secara merata.

Di tengah kondisi tersebut, kunjungan kerja Presiden Prabowo Subianto ke Pakistan memunculkan gelombang kritik dari berbagai kalangan. Publik mempertanyakan urgensi keberangkatan itu saat penanganan bencana masih berlangsung intensif.

Sudirman Said, Pihak Pertama yang Menyampaikan Kritik

Mantan Deputi Kepala BRR Aceh dan Nias, Sudirman Said, menjadi salah satu tokoh yang menyampaikan kritik paling keras. Ia menulis pernyataan terbuka di media sosial yang menyebut, “Your people are dying. Fix your priority please.” Kritik itu menyoroti prioritas pemerintah yang menurutnya tidak sejalan dengan situasi darurat di lapangan.

Sudirman juga menegaskan bahwa tugas besar seperti penanganan bencana memerlukan kehadiran langsung dan konsisten. “Tugas berat seperti bencana tidak cukup diurus satu malam,” ujarnya.

Ia juga menilai pemerintah belum menempatkan satu figur yang memegang otoritas penuh dalam penanganan krisis. Menurut Sudirman, koordinasi masih berjalan tidak optimal dan berdampak pada lambatnya pemulihan.

Anggota DPR Soroti Pernyataan Pejabat yang Minim Empati

Kritik tidak berhenti pada isu kunjungan luar negeri. Yanuar Arif Wibowo, anggota DPR RI, menilai sejumlah pernyataan pejabat publik terkait banjir Sumatra tidak sensitif. “Ratusan korban bukan angka biasa. Pernyataan pejabat yang meremehkan situasi ini tidak etis dan tidak sensitif,” ujarnya.

Yanuar merujuk pada komentar pejabat yang menganggap kayu yang hanyut sebagai sekadar “pohon tercabut oleh hujan deras”. Menurutnya, pernyataan seperti itu memancing kemarahan publik karena tidak mencerminkan empati terhadap korban.

Lambatnya Respons Tersorot Pengamat dan Media Internasional

Analisis dari The Jakarta Post menyebut bahwa pemerintah berjalan lambat dalam menangani bencana meskipun dampaknya sangat besar. Media tersebut menilai bahwa pemerintah terlalu bergantung pada narasi bencana sebagai fenomena alam. Kritik itu menyatakan bahwa pendekatan tersebut mengabaikan masalah struktural yang memperparah kerusakan.

Media internasional seperti Foreign Policy juga menyoroti lambatnya perbaikan dan menyebut bahwa Indonesia tidak dapat memperlakukan banjir besar sebagai kejadian rutin. Artikel itu menilai bahwa respons yang terbatas tidak sebanding dengan kedalaman krisis yang terjadi.

Sementara Channel News Asia menulis bahwa keputusan untuk tidak menetapkan status bencana nasional menghambat masuknya dukungan dan bantuan internasional.

Publik Mendesak Pemerintah Menata Ulang Prioritas

Kelompok masyarakat sipil dan analis lingkungan meminta pemerintah meninjau ulang mekanisme pemulihan. Mereka menilai pemulihan jangka panjang membutuhkan langkah struktural, termasuk penanganan kerusakan ekologi dan tata kelola lahan.

Mereka juga menyatakan bahwa pemerintah perlu membuka opsi bantuan internasional jika sumber daya nasional tidak lagi memadai. Kritik yang muncul dari berbagai sektor menunjukkan bahwa publik menginginkan respons yang lebih cepat, terkoordinasi, dan berempati.

Masyarakat berharap pemerintah menata ulang prioritas, menghadirkan koordinasi lebih tegas, serta mengutamakan kehadiran di lapangan selama masa krisis. Dengan skala kerusakan yang besar, pemulihan Sumatra dinilai membutuhkan perhatian penuh dari pemerintah pusat.

Baca Juga: Sindrom Pencitraan Pejabat: Ketika Kamera Lebih Penting dari Korban Bencana

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Banner TikTok