Mengapa Keputusan Sehari-hari Kini Kian Bernuansa Politik

CampusNet – Di tengah krisis iklim, pergeseran media, dan bencana besar belakangan ini, ungkapan “everything is political” terasa makin relevan. Apa yang kita makan, bagaimana kita menerima informasi, dan gaya hidup kita mencerminkan nilai, identitas, dan pilihan politik, bahkan tanpa kita sadari.

Konsumsi Berita = Pilihan Politik

Mengutip dari The Jakarta Post, 79 % warga Indonesia mendapatkan berita dari internet dan media sosial. Kelompok usia muda (18–24 tahun) paling banyak bergantung pada media sosial sebagai sumber berita utama.

Pergeseran ini memberi kekuatan besar pada tiap individu, karena algoritma platform digital membuat terus menerima konten sesuai dengan preferensi kita. Akhirnya, terkadang memperkuat pandangan tertentu tanpa banyak ruang untuk sudut pandang berbeda.

Ketika terjadi krisis luas seperti bencana yang menimpa wilayah Aceh-Sumatra, media sosial menjadi saluran penyampaian paling cepat bagi banyak korban dan masyarakat guna saling membantu atau mencari kabar.

Maka, keputusan untuk mempercayai, membagikan, atau mendiskusikan konten secara digital juga berubah menjadi tindakan yang sarat makna politik dan kemanusiaan.

Pilihan Konsumsi Lingkungan, dan Kesadaran Kolektif

Bencana yang terjadi belakangan termasuk banjir dan longsor di Sumatra mempertegas bahwa isu lingkungan kini tak bisa dilepaskan dari politik, kebijakan, dan struktur ekonomi.

Dengan kondisi seperti itu, keputusan kita dalam gaya hidup sehari-hari, misalnya dalam memilih makanan lokal versus makanan impor, konsumsi produk berbasis sustainable, sampai pola konsumsi energi, bisa dianggap sebagai bagian dari respons terhadap krisis lingkungan dan sosial. Artinya, pilihan pribadi dapat beresonansi secara kolektif dan memiliki dampak pada narasi sosial dan politik.

Selain itu, ketika kita memilih untuk membagikan informasi tentang bencana, bantuan, atau krisis lingkungan di media sosial, kita sebenarnya sedang membuat keputusan politik: apakah kita mendukung solidaritas dan tanggung jawab kolektif, atau enggan terlibat dalam diskusi yang bisa berujung kontroversi.

Polarisasi, Identitas, dan Tanggung Jawab Publik

Dalam konteks Indonesia akhir-akhir ini, fragmentasi informasi dan polarisasi sosial menjadi tantangan nyata. Minimnya interaksi bermakna di antara kelompok berbeda, mulai dari agama, etnis, kelas, sehingga memperbesar risiko segregasi sosial.

Maka, kalimat “everything is political” bukan lagi hanya teori. Konsumsi informasi kita, komunitas yang kita ikuti, dan cara kita bereaksi terhadap peristiwa nasional dapat mencerminkan identitas dan posisi politik, bukan hanya dalam hal dukungan terhadap partai atau pemilu, tapi juga dalam hal nilai kemanusiaan, lingkungan, dan solidaritas.

Karena hal itu juga, menjadi penting bagi setiap warga untuk lebih sadar, bijak, dan bertanggung jawab. Literasi media, empati sosial, dan kesadaran kolektif perlu jadi bagian dari kehidupan sehari-hari.

Baca Juga: Hilangnya Empati Pejabat di Tengah Bencana: Ketika Tragedi Jadi Panggung Kekuasaan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Banner TikTok