CampusNet – Rencana pemerintah untuk memberlakukan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 12 persen pada sektor pendidikan premium pada Januari 2025 telah memicu tanggapan dari berbagai pihak. Salah satunya adalah Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir. Ia meminta kejelasan lebih lanjut mengenai kriteria “premium” yang menjadi dasar kebijakan ini.
Tantangan Definisi Pendidikan Premium
Menurut Haedar, istilah “premium” perlu kejelasan secara transparan agar tidak menimbulkan spekulasi di masyarakat, saat konferensi pers di Yogyakarta tanggal 30 Desember 2024. Ia juga menekankan bahwa tanpa kejelasan, masyarakat dapat salah memahami tujuan kebijakan ini, sehingga justru menciptakan ketidakpuasan.
Kekhawatiran atas Dampak Kebijakan
Muhammadiyah, yang memiliki lembaga pendidikan dari tingkat PAUD hingga perguruan tinggi, merasa penting untuk memastikan bahwa kebijakan ini tidak menghambat akses pendidikan berkualitas bagi masyarakat. Hal senada juga disampaikan oleh anggota DPR RI dari Fraksi PDI-P, Novita Hardini. Ia meminta pemerintah mengkaji ulang penerapan tarif PPN ini.
“Kita harus berpikir jangka panjang. Jangan sampai kebijakan ini malah membuat pendidikan berkualitas semakin tidak terjangkau,” tegas Novita.
Saran untuk Peninjauan Ulang
Haedar juga mengusulkan agar kebijakan ini ditinjau ulang secara menyeluruh, dengan mempertimbangkan dampak sosial dan ekonomi. “Jika memungkinkan, peninjauan menyeluruh dapat membantu masyarakat memahami dan menerima kebijakan ini dengan lebih baik,” tambahnya.
Kebijakan PPN 12 persen pada pendidikan premium masih menjadi isu kontroversial yang membutuhkan klarifikasi dan evaluasi mendalam. Pemerintah dapat dengan segera memberikan penjelasan rinci untuk menghindari polemik berkepanjangan, serta memastikan kebijakan ini mendukung pemerataan akses pendidikan di Indonesia.