CampusNet – Nir-empati pejabat publik kerap memperburuk kecemburuan sosial di masyarakat. Hal ini bukan semata karena perbedaan individu saja. Jika dilihat dari skala yang lebih besar, ini juga akibat dari ketimpangan struktural yang dibiarkan
Sayangnya, pejabat publik justru terkadang menunjukkan sikap nir-empati. Alih-alih memberi solusi, sikap ini bisa memperlebar jurang sosial dan menimbulkan rasa frustrasi. Simak detailnya berikut ini:
Ketidakpekaan terhadap Realitas Lapangan
Banyak pejabat publik sibuk berbicara target, namun lupa menengok realitas di masyarakat. Kondisi ini membuat kebijakan yang lahir tidak sesuai dengan kebutuhan nyata, termasuk dalam pendidikan dan kesejahteraan mahasiswa. Akibatnya, kesenjangan semakin tampak jelas dan memicu kecemburuan sosial.
Mahasiswa yang melihat ketidakadilan tersebut akhirnya merasa tidak diperhatikan. Pejabat publik yang nir-empati gagal memahami bahwa statistik bukanlah cerminan kehidupan sehari-hari. Situasi ini menimbulkan jurang psikologis antara masyarakat dan pemerintah.
Kebijakan yang Tidak Inklusif
Ketidakadilan semakin nyata ketika kebijakan hanya menguntungkan kelompok tertentu. Akses terhadap fasilitas, beasiswa, maupun lapangan kerja tidak selalu terbuka merata bagi semua kalangan. Hal ini membuat sebagian kelompok merasa terpinggirkan.
Pejabat publik yang tidak peka gagal melihat dampak diskriminasi kebijakan tersebut. Mahasiswa dari keluarga kurang mampu menjadi semakin kesulitan mengejar kesempatan yang sama. Dalam jangka panjang, kecemburuan sosial bisa berubah menjadi ketidakpercayaan terhadap institusi negara.
Komunikasi Publik yang Minim Sensitivitas
Sering kali pejabat publik mengeluarkan pernyataan yang meremehkan masyarakat. Kata-kata yang tidak bijak justru memperburuk persepsi publik dan menimbulkan rasa sakit hati. Alih-alih menenangkan, komunikasi yang nir-empati malah memperkeruh keadaan.
Mahasiswa sebagai kelompok kritis biasanya cepat menanggapi isu seperti ini. Mereka merasa kebutuhan mereka diabaikan hanya karena bahasa yang tidak sensitif. Hal ini mempertegas jarak emosional antara pejabat publik dan masyarakat luas.
Abai pada Potensi Solidaritas Sosial
Solidaritas sosial bisa menjadi cara untuk memperkecil jurang kecemburuan. Sayangnya, pejabat publik yang abai gagal mendorong program yang memperkuat kebersamaan. Alhasil, masyarakat justru dibiarkan bersaing secara individual tanpa jaring pengaman sosial.
Mahasiswa melihat ketiadaan dorongan ini sebagai bentuk kelalaian kebijakan. Padahal, kolaborasi dan empati bisa menciptakan lingkungan yang lebih adil. Tanpa langkah nyata, rasa iri sosial akan terus tumbuh di ruang-ruang kampus maupun masyarakat umum.
Risiko Ketidakpercayaan Publik
Kecemburuan sosial yang diabaikan berpotensi melahirkan krisis kepercayaan. Masyarakat, termasuk mahasiswa, menjadi skeptis terhadap niat baik pemerintah. Akhirnya, nir-empati pejabat publik hanya akan memperbesar rasa apatis di kalangan generasi muda.
Jika kondisi ini dibiarkan, dampaknya akan dititikberatkan pada legitimasi pemerintah. Mahasiswa bisa menjadikan kecemburuan sosial sebagai bahan kritik terbuka kepada pejabat publik. Lebih lanjut, kritik ini menjadi tanda bahwa masyarakat menuntut kepedulian yang nyata.
Baca juga: Bersumpah Mewakili Malah Mengkhianati, Bersumpah Melindungi Malah Membunuh