CampusNet – Kabar kurang menggembirakan menyelimuti pasar keuangan Indonesia. Dalam waktu yang hampir bersamaan, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS melemah. Kondisi ini sontak menarik perhatian banyak pihak, termasuk Pakar Ekonomi Internasional dari Universitas Airlangga, Prof. Rossanto Dwi Handoyo.
“Kalau sudah di atas 2 persen itu berarti ada faktor psikologis pasar yang mempengaruhi investor,” ujarnya dilansir dari laman resmi Unair, Sabtu, (12/4/2025).
Tidak hanya itu, ia juga menjelaskan adanya fluktuasi di pasar saham menjadi bagian yang wajar. Akan tetapi, adanya penurunan IHSG hingga lebih dari 9 persen dalam waktu singkat adalah gejolak yang tidak biasa.
Adanya Ketidakpastian Ekonomi Global
Bagi dia, lemahnya IHSG dan rupiah lebih pada kekhawatiran investor tentang ketidakpastian ekonomi global, bukan kondisi fundamental emiten di pasar modal. Rossanto memberikan contoh melalui perusahaan-perusahaan besar seperti Bank Mandiri dan BRI, yang masih menunjukkan kinerja sehat dan tetap membagikan dividen.
“Investor kini berorientasi pada capital gain cenderung mengambil langkah cepat untuk menjual saham, meski secara fundamental perusahaan masih sehat,” jelas dia.
Tak hanya itu, kekhawatiran investor pun kian memuncak. Mereka takut situasi ini bisa menular dan menciptakan efek domino. Ketika investor di negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Jepang, maupun Tiongkok mulai menjual saham mereka, gelombang kepanikan itu turut merambat ke Indonesia.
Akibatnya, investor di dalam negeri pun mengikuti jejak yang sama yakni melepas saham mereka demi menghindari risiko yang lebih besar.
“Investor itu menular, saat semuanya jual saham karena takut rugi, maka harga saham pun akan anjlok secara drastis,” terang Prof Rossanto.
Peran Pemerintah Respon Lemahnya IHSG dan Rupiah
Lebih jauh, Rossanto mengatakan akan peran pemerintah untuk menciptakan rasa aman dan kepercayaan bagi para investor, terutama ketika dinamika pasar yang fluktuatif. Adanya kepanikan investor, menurutnya, kerap dipicu oleh ketidakpastian, bukan karena kondisi ekonomi yang memburuk.
“Ini situasi yang paling dibutuhkan investor adalah rasa aman, pemerintah harus bisa menunjukkan bahwa kondisi tetap terkendali, itu bisa dilakukan lewat komunikasi yang efektif dan kebijakan yang konsisten,” ungkapnya.
Untuk menghadapi kondisi seperti ini, dosen Departemen Ilmu Ekonomi itu mengimbau masyarakat agar tidak panik menghadapi ketidakpastian ekonomi global saat ini. Ia juga mengingatkan bahwa kondisi ini hanya bersifat sementara dan akan pulih dalam kurun waktu satu tahun seiring dengan penyesuaian yang dilakukan banyak pihak.
“Masyarakat yang memiliki kelebihan aset dan khawatir terhadap penurunan nilai saham, rupiah atau aset lainnya bisa mempertimbangkan untuk mengalihkan dana ke aset yang lebih aman seperti emas, sebagai safe haven atau ke instrumen deposito yang cenderung bebas risiko,” imbaunya.
Di akhir, Rossanto kembali mengingatkan masyarakat untuk lebih bijak dalam mengelola aset di tengah kondisi yang penuh ketidakpastian. Ia menyarankan agar masyarakat menahan diri dari membeli properti atau kendaraan yang sebenarnya tidak mendesak kebutuhannya. Ia juga menekankan pentingnya berpikir dua kali sebelum memulai usaha yang prospeknya belum jelas, terutama jika ketidakpastian global ini terus berlanjut tanpa kepastian arah.
Kebijakan Tarif AS Picu Gejolak Pasar Keuangan Indonesia
Sebelumnya, pada 8 April 2025, IHSG sempat anjlok 9,2% saat pembukaan dan ditutup turun 8,5%, sementara rupiah melemah 1,8% ke rekor terendah Rp16.850 per dolar AS. Tekanan ini dipicu kenaikan tarif 32% dari AS terhadap produk Indonesia. Sebagai respons, BEI mengetatkan aturan perdagangan dan Bank Indonesia melakukan intervensi pasar. Meski langkah ini memberi efek jangka pendek, analis menilai diperlukan strategi jangka panjang untuk menjaga stabilitas ekonomi.
Baca Juga: Apa Itu Tarif Trump yang Bikin Heboh? Indonesia Kena 32 Persen