Panggung Digital yang Kehilangan Arah
CampusNet – Influencer kini memiliki panggung besar di dunia digital. Mereka mampu menjangkau jutaan pengikut, membentuk opini, bahkan mengarahkan tren sosial. Namun, ketika isu politik dan sosial mencuat, banyak influencer justru terlihat tone deaf. Mereka tetap menampilkan konten hiburan atau promosi seolah tidak terjadi apa-apa. Akibatnya, publik merasa kecewa karena tokoh yang mereka ikuti gagal menunjukkan empati.
Tone Deaf dalam Dunia Influencer
Fenomena tone deaf memperlihatkan betapa mudahnya figur publik kehilangan relevansi. Alih-alih merespons isu penting, mereka memilih diam. Beberapa bahkan tetap mengunggah konten sponsor, yang akhirnya memperkuat kesan tidak peduli. Publik menilai langkah itu sebagai bentuk ketidakpekaan yang mencederai kepercayaan.
Klarifikasi yang Justru Menambah Masalah
Sebagian influencer mencoba memberikan klarifikasi. Akan tetapi, isi klarifikasi sering kali terdengar dingin dan defensif. Mereka sibuk membela diri daripada mengakui kesalahan. Akhirnya, klarifikasi itu berubah menjadi blunder. Publik pun semakin yakin bahwa influencer lebih peduli pada reputasi daripada pada isu nyata yang memengaruhi masyarakat.
Mahasiswa sebagai Kontras Suara Publik
Berbeda dengan influencer, mahasiswa justru bergerak aktif menyuarakan keresahan. Mereka hadir di jalan, forum diskusi, dan ruang-ruang akademik untuk menyampaikan kritik. Suara mahasiswa mencerminkan keresahan generasi muda sekaligus mengisi kekosongan yang ditinggalkan influencer. Dengan keberanian itu, mahasiswa membuktikan bahwa suara kritis tidak bergantung pada popularitas digital.
Representasi Generasi Muda
Mahasiswa sering menjadi representasi generasi muda dalam menyuarakan isu. Mereka mengangkat suara masyarakat yang merasa terpinggirkan. Di tengah kebisuan figur publik, mahasiswa memberi alternatif narasi yang lebih jujur dan relevan. Karena itu, peran mereka semakin penting untuk menjaga dinamika demokrasi dan solidaritas sosial.
Mengapa Tone Deaf Membahayakan Ruang Publik
Sikap tone deaf bukan sekadar kelalaian personal. Jika dibiarkan, sikap itu berisiko menormalisasi ketidakpedulian. Publik bisa menganggap diam sebagai pilihan aman, padahal masyarakat membutuhkan suara yang berani. Ketika tokoh publik memilih diam, ruang diskusi publik menjadi miskin perspektif. Akhirnya, solidaritas sosial melemah, sementara masyarakat kehilangan figur panutan.
Mengembalikan Makna Suara Publik
Fenomena tone deaf di kalangan influencer memberi pelajaran penting. Panggung besar tidak menjamin keberpihakan pada isu publik. Mahasiswa menunjukkan bahwa suara kritis bisa hadir tanpa harus punya jutaan pengikut. Keberanian dan ketulusan lebih berarti daripada citra digital. Oleh karena itu, generasi muda harus terus mendorong agar ruang publik dipenuhi suara-suara yang berani, peka, dan berpihak pada masyarakat.
Baca Juga: 5 Band yang Menginspirasi Gerakan Mahasiswa