CampusNet – Setiap kali isu pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto, mencuat ke publik, reaksi masyarakat selalu terbelah. Sebagian menilai jasa Soeharto pada masa awal Orde Baru tak bisa dihapus dari sejarah Indonesia. Namun, sebagian lain menegaskan bahwa catatan pelanggaran hak asasi manusia dan korupsi di bawah rezimnya menjadi alasan moral mengapa gelar itu tidak pantas disematkan.
Perdebatan ini bukan sekadar soal penghargaan simbolik, tetapi juga tentang bagaimana bangsa ini mengingat sejarah dan menilai masa lalu dengan kejujuran.
Jasa Soeharto: Stabilitas, Infrastruktur, dan Swasembada
Tidak bisa dipungkiri, Soeharto memiliki peran penting dalam sejarah pembangunan Indonesia modern.
Setelah pergolakan politik era 1960-an, ia muncul sebagai sosok yang membawa stabilitas ekonomi dan politik. Pada masa pemerintahannya, Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang signifikan, inflasi terkendali, dan berbagai proyek infrastruktur besar seperti waduk, jalan raya, serta program transmigrasi digalakkan secara masif.
Soeharto juga dikenal dengan pencapaannya membawa Indonesia mencapai swasembada pangan pada 1984, yang membuat namanya dihormati di forum internasional.
Bagi sebagian kalangan, ini adalah pencapaian monumental yang membuatnya layak diakui sebagai tokoh besar dalam sejarah pembangunan nasional.
Dosa Politik: Pelanggaran HAM dan Korupsi
Namun di sisi lain, sejarah Orde Baru juga sarat dengan luka dan ketidakadilan.
Tragedi 1965–1966, penembakan misterius (Petrus), penculikan aktivis 1998, hingga pembungkaman pers dan oposisi politik meninggalkan jejak kelam dalam perjalanan bangsa.
Laporan dari berbagai lembaga HAM, termasuk Komnas HAM, menyebut bahwa masa pemerintahan Soeharto ditandai oleh pelanggaran hak asasi manusia berat dan kontrol otoritarian yang menekan kebebasan sipil.
Selain itu, di penghujung kekuasaannya, Soeharto juga dituduh melakukan korupsi besar-besaran melalui yayasan keluarga dan kroni bisnisnya.
Transparansi Internasional bahkan menempatkannya dalam daftar salah satu pemimpin paling korup di dunia, dengan dugaan kerugian negara mencapai miliaran dolar AS.
Fakta-fakta inilah yang membuat banyak pihak menolak pemberian gelar pahlawan kepadanya — bukan karena menafikan jasanya, melainkan karena tidak semua prestasi dapat menutupi pelanggaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Antara Penghargaan dan Rekonsiliasi Sejarah
Gelar Pahlawan Nasional bukan sekadar penghargaan formal, tetapi simbol moral yang merepresentasikan nilai keberanian, pengorbanan, dan integritas.
Dalam konteks itu, pertanyaannya bukan hanya apakah Soeharto berjasa, tetapi juga apakah ia mencerminkan nilai-nilai moral yang melekat pada makna kepahlawanan itu sendiri.
Beberapa pihak berpendapat bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu memaafkan, bukan melupakan.
Namun, bagi banyak korban dan keluarga korban pelanggaran HAM, memaafkan tidak berarti menghapus tanggung jawab atau menghapus fakta sejarah.
Pemberian gelar pahlawan sebelum ada rekonsiliasi dan pengakuan sejarah yang utuh hanya akan menimbulkan luka baru.
Warisan yang Harus Ditafsir Ulang
Soeharto adalah figur kompleks — antara pembangunan dan penindasan, kemajuan dan ketakutan.
Menilai pantas tidaknya ia menjadi pahlawan bukan sekadar soal politik, tetapi tentang bagaimana bangsa ini memilih untuk mengingat sejarahnya.
Apakah kita akan menilai berdasarkan hasil pembangunan semata, atau juga mempertimbangkan nilai kemanusiaan dan demokrasi yang dirampas selama 32 tahun kekuasaan?
Bagi sebagian generasi muda, Soeharto mungkin hanya simbol masa stabilitas ekonomi. Tapi bagi mereka yang hidup di masa represi politik, Soeharto adalah pengingat tentang bagaimana kekuasaan bisa membungkam suara rakyat.
Kesimpulan: Gelar Pahlawan Butuh Moralitas, Bukan Sekadar Prestasi
Pertanyaan “Pantaskah Soeharto menjadi Pahlawan Nasional?” tidak memiliki jawaban sederhana.
Ia bukan hanya pertarungan argumen sejarah, tetapi juga ujian moral bangsa: apakah kita sudah berdamai dengan masa lalu, atau justru berusaha menutupi luka sejarah di balik simbol penghargaan?
Bangsa ini perlu jujur menatap masa lalu — bahwa pahlawan sejati bukan hanya mereka yang membangun, tetapi juga mereka yang menjaga nilai kemanusiaan dan keadilan.
Soeharto, dengan segala jasanya, juga membawa beban sejarah yang tidak bisa dihapus dengan satu gelar kehormatan.


