Paparan Berita Negatif Bikin Mental Lelah, Ini Cara Mengatasinya

CampusNet – Di zaman serba digital saat ini, akses terhadap berita, termasuk kabar negatif sangat mudah. Namun, sejumlah riset menunjukkan bahwa konsumsi berita negatif berkepanjangan dapat berdampak serius terhadap kesehatan mental.

Dalam beberapa minggu terakhir, masyarakat Indonesia menerima banyak pemberitaan mengenai banjir di Aceh dan Sumatera Barat, tanah longsor, serta cuaca ekstrem yang terus berlangsung. Arus informasi ini memenuhi lini masa media sosial, grup WhatsApp, dan berbagai portal berita nasional.

Situasi seperti ini membuat masyarakat terus terpapar pada kabar buruk yang bersifat emosional, dan sangat mungkin berdampak pada mental.

Paparan Berita Negatif dan Dampaknya pada Mental

Peneliti yang mempublikasikan studinya dalam Spanish Journal of Psychiatry and Mental Health menyimpulkan bahwa paparan berlebihan terhadap berita negatif meningkatkan gejala kecemasan dan depresi, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

Peneliti dalam studi lain menemukan bahwa orang yang sering membaca berita negatif mengalami mood negatif lebih sering dan mood positif lebih jarang dibanding mereka yang tidak terpapar secara intens, sehingga temuan ini menegaskan bahwa dampaknya tidak hanya bersifat mental.

Konsumsi berita negatif secara terus-menerus bisa memicu respons stres tubuh, seperti peningkatan hormon stres, seperti adrenalin dan kortisol, yang selanjutnya bisa menimbulkan kelelahan, gangguan tidur, gangguan pencernaan, dan penurunan motivasi hidup.

Pandangan Ahli di Indonesia: Ancaman Psikologis Kolektif

Di Indonesia, pandangan profesional mengenai bahaya konsumsi berita negatif secara terus menerus sudah dipaparkan oleh para psikolog. Mengutip Kompas.com, Universitas Gadjah Mada (UGM) menyampaikan bahwa arus berita buruk, seperti konflik, kebijakan kontroversial, korupsi, dan gejolak sosial, bisa menimbulkan ketegangan psikologis kronis dan kolektif.

Menurut Psikolog Klinis UGM, Pamela Andari Priyudha, paparan terus-menerus terhadap berita negatif bisa memicu kondisi disebut “learned helplessness”. Keadaan tersebut tersebut adalah keadaan di mana seseorang merasa tidak berdaya untuk mengubah situasi meskipun sebenarnya ada peluang. Kondisi ini rawan memunculkan apatisme, frustrasi, dan depresi secara kolektif.

Pamela menekankan pentingnya literasi digital serta kemampuan regulasi emosi agar masyarakat bisa lebih resilien menghadapi banjir informasi negatif di era digital.

Kenapa Sampai Membuat Otak dan Tubuh “Capek”

Secara ilmiah, paparan terus-menerus pada berita negatif dapat memicu respons stres seperti aktivasi sistem “fight or flight”. Sistem tubuh merespons bahaya nyata dengan cepat, tetapi paparan berita negatif dapat memicu respons yang sama sehingga tubuh dan otak terus merasa berada dalam kondisi bahaya tanpa mendapat waktu untuk pulih.

Dampaknya bisa berupa kecemasan, insomnia, gangguan pencernaan, hingga kelelahan emosional. Banyak orang melaporkan kesulitan berkonsentrasi, motivasi menurun, dan rasa putus asa.

Fenomena seperti ini menjelaskan mengapa banyak orang merasa “capek” bukan hanya secara mental tetapi juga fisik, meski tidak terlibat langsung dalam peristiwa.

Cara Sehat Mengkonsumsi Berita Menurut Para Pakar

  • Batasi waktu mengonsumsi berita, misalnya alokasikan waktu tertentu dalam sehari untuk membaca berita, jangan terus-menerus scroll tanpa batas.
  • Kurangi konsumsi berita yang terlalu negatif, coba selektif memilih sumber dan topik berita agar tidak selalu berkutat pada konflik, bencana, atau tragedi, mau tidak mau meski itu fakta.
  • Seimbangkan dengan berita positif atau kisah harapan, melihat cerita positif dan empati bisa membantu meredam dampak negatif dari “negativity bias”.
  • Lakukan aktivitas yang menyegarkan mental, seperti olahraga, hobi, interaksi sosial, atau meditasi untuk membantu Regulasi emosi.
  • Tumbuhkan literasi digital dan kritis terhadap media, mengecek sumber informasi, memahami konteks, dan tidak mudah terprovokasi judul sensasional.

Derasnya kabar tentang banjir Aceh, kondisi Sumatera Barat, dan berbagai peristiwa berat lain membuat konsumsi berita yang terukur semakin penting. Paparan informasi negatif yang muncul tanpa henti dapat melelahkan pikiran sehingga pembaca perlu memberi ruang bagi diri sendiri untuk pulih.

Mengikuti berita dengan ritme yang sehat membantu menjaga kejernihan dan empati. Di balik setiap laporan ada orang-orang yang masih berusaha bangkit, dan semoga mereka mendapat kekuatan untuk melalui hari-hari sulit ini.

Dengan menjaga kesehatan mental saat mengikuti perkembangan, kita ikut merawat kepedulian itu dengan cara yang paling tenang.

Baca Juga: Mengapa Pemerintah Enggan Menetapkan Banjir dan Longsor di Sumatra sebagai Bencana Nasional?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Banner TikTok