CampusNet – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) resmi mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada 20 Maret 2025. Perubahan ini memicu perdebatan publik. Hal ini karena membuka ruang bagi kembalinya peran militer dalam sektor sipil, yang mengingatkan pada era Orde Baru.
Perubahan Kunci dalam Revisi UU TNI
Beberapa poin utama dalam revisi UU TNI meliputi:
- Penambahan Tugas dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP)
- Tugas OMSP bertambah dari 14 menjadi 16, memperluas cakupan peran militer di luar pertahanan negara.
- Penempatan Perwira Militer dalam Jabatan Sipil
- Jumlah posisi sipil yang dapat diisi oleh prajurit TNI aktif meningkat dari 10 menjadi 16, memperbesar peluang militer berperan dalam pemerintahan sipil.
Kritik: Kembali ke Era Orde Baru?
Banyak pihak menilai revisi ini berpotensi menghidupkan kembali praktik Dwifungsi ABRI. Militer memiliki peran ganda dalam ranah sipil dan militer.
- Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyatakan bahwa revisi ini tidak mencerminkan upaya transformasi militer ke arah yang lebih profesional.
- Pakar politik Universitas Katolik Soegijapranata, Andreas Pandiangan, menyebut pengesahan revisi UU TNI sebagai indikasi bahwa pemerintahan saat ini berusaha mengembalikan praktik-praktik Orde Baru.
- Ketua Fraksi PDI Perjuangan, Utut Adianto, mengungkapkan bahwa Megawati Soekarnoputri menekankan pentingnya supremasi sipil. Dan meminta agar revisi ini tidak menjadi alat untuk menghidupkan kembali dominasi militer.
Demokrasi atau Militerisasi?
Pengesahan revisi UU TNI menimbulkan kekhawatiran akan kembalinya dominasi militer dalam pemerintahan sipil. Meskipun DPR dan pemerintah menegaskan bahwa revisi ini tetap berlandaskan demokrasi. Kritik yang muncul menunjukkan pentingnya pengawasan ketat agar supremasi sipil tetap terjaga dan Indonesia tidak kembali ke pola pemerintahan ala Orde Baru.