Saat ChatGPT Menghidupi Hidup Penggunanya

CampusNet – ChatGPT awalnya hanya AI (Artificial Intelligence) yang berfungsi sebagai alat bantu kerja, tetapi kini banyak orang memakainya untuk berbagi perasaan. Laporan Channel News Asia mencatat 0,15 persen pengguna aktif mingguannya menulis pesan dengan niat mengakhiri hidup.

Dengan lebih dari 800 juta pengguna per minggu, angka itu berarti ratusan ribu percakapan bernada krisis mental. Chatbot yang dibuat untuk membantu menulis atau belajar kini menjadi ruang emosional bagi penggunanya.

Mesin yang Hangat, Tapi Tidak Memahami

ChatGPT meniru cara manusia berbicara dengan sangat halus. Ia mampu memberi tanggapan empatik, meski tanpa benar-benar memahami konteks emosional. Kumparan menjelaskan bahwa model bahasa ini sulit membedakan fakta dan kepercayaan karena bekerja dengan pola teks, bukan pengalaman moral.

Akibatnya, AI bisa menghasilkan jawaban yang terasa menenangkan tetapi tidak akurat. Bagi sebagian pengguna, terutama yang sedang tertekan, respons itu dapat menciptakan ilusi kedekatan.

OpenAI Menegaskan Batas Peran AI

Kabar tentang larangan ChatGPT memberi nasihat hukum dan kesehatan sempat menimbulkan salah paham. OpenAI menegaskan tidak ada larangan, hanya pembatasan agar chatbot tidak disalahartikan sebagai tenaga profesional.

Mengutip Antara, Karan Singhal, Kepala Kesehatan AI OpenAI, menjelaskan bahwa ChatGPT tetap dapat membantu pengguna memahami informasi, tetapi tidak menggantikan dokter atau pengacara. Pernyataan itu mempertegas bahwa peran AI tetap terbatas pada dukungan informasi, bukan penilaian profesional.

Percakapan Digital Menggantikan Interaksi Manusia

Mengutip DetikHealth, melaporkan bahwa semakin banyak pengguna berbicara dengan ChatGPT daripada dengan orang di sekitar mereka. Pengguna memilih AI karena merasa lebih nyaman dan tidak dihakimi.

Tren ini menandai pola baru hubungan manusia dengan teknologi. Banyak orang kini mencari rasa aman dari sistem yang sebenarnya tidak memiliki kepedulian, sehingga interaksi sosial nyata perlahan berkurang.

Pengguna dapat menjadikan ChatGPT sebagai alat bantu produktif jika menggunakan secara sadar. Mereka bisa memakainya untuk berpikir, menulis, atau mencari referensi, tetapi tidak untuk menggantikan kehadiran manusia.

Pengguna perlu memverifikasi setiap informasi yang AI berikan dan segera mencari bantuan profesional ketika mengalami tekanan psikologis. Chatbot meniru empati dengan sangat baik, tetapi tidak pernah benar-benar memiliki empati.

Fenomena ini memperlihatkan bagaimana manusia mengubah cara berinteraksi dengan teknologi. ChatGPT mempermudah banyak hal, tetapi pengguna tetap harus menjaga jarak. AI hanya menyalin bahasa manusia, bukan perasaannya. Selama manusia menyadari batas itu, kendali terhadap teknologi akan tetap berada di tangan mereka, bukan sebaliknya.

Baca Juga: Awas! ChatGPT Atlas dari OpenAI Siap Goyang Browser Favoritmu

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Banner TikTok