Soft Skill Melengkapi Hard Skill di Pasar Kerja

CampusNet – Pergerakan industri lebih cepat daripada perkembangan kurikulum pendidikan. Hal itu menciptakan kesenjangan antara lulusan pendidikan tinggi dan kebutuhan industri. Demikian pendapat Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Stella Christie sebagaimana mengutip Harian Kompas (Sabtu, 19 Juli 2025). Pernyataan Stella selaras dengan dominasi lonjakan angka pengangguran dari penduduk yang lulus pendidikan tinggi.

Berdasarkan Berita Resmi Statistik Survei Angkatan Kerja Nasional Februari 2025, terdapat 13,89 persen pendudukan menganggur dengan tingkat pendidikan D-4 sampai S-3. Lalu, 2,44 persen dari tingkat D-1 sampai D-3. Terjadi peningkatan pada data serupa tahun 2024 dengan lulusan universitas sebesar 5,25 persen. Lulusan yang semakin banyak namun lapangan pekerjaan yang sempit selalu menjadi penyebab pokok dari masalah pengangguran.

Menanggapi permasalahan ini, Stella mencanangkan dua metode utama: keterlibatan langsung industri dalam pengembangan kurikulum dan kampus sebagai industri masa depan melalui penelitian dan inovasi. Instansi pendidikan memerlukan peran industri untuk membentuk kurikulum.

Kolaborasi industri dalam meramu kurikulum memang menjadi kesadaran global dalam waktu dekat ini. Mengutip sumber serupa, Asisten Direktur Jenderal UNESCO Stefania Giannini mengatakan, terdapat 450 juta anak di seluruh dunia kurang keterampilan untuk terserap di lapangan kerja. Ini berarti, kurikulum pendidikan perlu restrukturisasi diri dengan perkembangan praktis dan keperluan skill di industri.

Proyeksi terhadap kesenjangan keterampilan terhadap kebutuhan industri di masa depan menjadi topik utama. Bahkan dalam salah satu laporan terbaru tahun 2025 dari World Economic Forum (WEF), 60 persen pengusaha perlu meredefinisi bisnis mereka pada 2030 karena akses digital yang berkembang secara global di sektor industri. Ini menandakan, kecakapan orang muda perlu mengalami pembaharuan.

Tantangan ini membuat UNESCO menyediakan pelatihan keterampilan digital yang bersifat lokal melalui Akademi Keterampilan Global.  Pelatihan daring gratis tersedia di bidan: pengkodean, kewirausahaan, akal imitasi, dan keamanan siber. Keterampilan ini merupakan sumber pemberdayaan dan peluang untuk menciptakan masyarakat yang inklusif dan damai.

Tetap perlu soft skill

Meksi wacana dan praksis global mengarah pada pemberdayaan individu ke beragam kemampuan berbasis digital dan kemandirian, institusi pendidikan dan keluarga perlu menumbuhkan soft skill pada anak didik. Pendidikan perlu membekali murid dengan kemampuan berpikir kritis, penguatan karakter,  pemecahan masalah, dan etos kerja.

Penajaman soft skill mendukung kemampuan pelajar dalam memahami keterampilan teknis. WEF memproyeksikan 10 keterampilan inti teratas, melingkupi pemikiran kritis dan kreatif, kepemimpinan, motivasi, empati, rasa ingin tahu, dan pelayanan pelanggan.

Dua keterampilan ini memerlukan pengawalan. Ketimpangan pada satu sisi hanya akan melahirkan insan yang terlalu cakap tanpa memiliki rasa kemanusiaan, atau sangat berorientasi pada kecakapan inti tanpa memiliki ruang gerak atau skill untuk diterapkan. Kurikulum modern ini perlu mengakomodasi kembali pengawalan kemampuan inti dan praktis agar menumbuhkan kemanusiaan, ketuntasan tugas, dan memiliki dampak bagi lingkungannya sebagai manusia.

Baca juga: Soft Skill yang Perlu Dimiliki Oleh Mahasiswa!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *