Streisand Effect Terhadap Bayar Bayar Bayar Karya Sukatani

Bayar Bayar Bayar

CampusNet – Dunia kesenian kembali dikejutkan dengan insiden terbaru yang melibatkan band punk asal Purbalingga, Sukatani. Band ini tiba-tiba mengunggah video permintaan maaf kepada institusi Polri terkait lagu mereka yang berjudul Bayar Bayar Bayar. Tak hanya itu, lagu tersebut juga ditarik dari peredaran, menimbulkan gelombang reaksi dari publik.

Dalam video permintaan maaf yang diunggah, dua personel Sukatani, gitaris Muhammad Syifa Al Lufti dan vokalis Novi Citra Indriyati, menyampaikan permohonan maaf mereka kepada Kapolri Listyo Sigit Prabowo serta institusi kepolisian. Menariknya, mereka muncul tanpa mengenakan topeng, berbeda dengan identitas anonim yang biasa mereka pertahankan saat tampil di atas panggung.

Kontroversi Bayar Bayar Bayar

Sebagai track kedua dalam album perdana mereka, Gelap Gempita (2023), lagu Bayar Bayar Bayar menyoroti praktik pungutan liar yang kerap dilakukan oleh oknum kepolisian. Lagu ini menggambarkan berbagai situasi, mulai dari pembuatan laporan kehilangan barang hingga pembuatan Surat Izin Mengemudi melalui jalur tidak resmi.

Alih-alih menghilangkan jejak lagu tersebut, keputusan untuk menariknya justru memicu fenomena Streisand Effect.

Mengenal Streisand Effect

Fenomena Streisand Effect terjadi ketika upaya menghapus atau menyensor suatu informasi malah memperluas penyebarannya. Publik yang semakin penasaran justru semakin aktif membagikan konten tersebut.

Sejak karya Sukatani ditarik dari peredaran, publik bereaksi dengan memainkan dan menyebarkannya secara masif. Lagu ini terdengar dalam berbagai aksi, termasuk Aksi Kamisan dan demonstrasi #IndonesiaGelap di berbagai daerah.

Kasus Serupa: Karya Seni Yos Suprapto yang Dibungkam

Kasus pembungkaman karya seni bukan kali ini saja terjadi. Sebelumnya, seniman realisme Yos Suprapto mengalami hal serupa ketika pameran lukisannya Kebangkitan: Tanah untuk Kedaulatan Pangan, yang seharusnya berlangsung di Galeri Nasional Indonesia pada 20 Desember 2024, dibatalkan secara mendadak.

Beberapa lukisan Yos Suprapto dianggap mengandung kritik terhadap mantan Presiden Joko Widodo, sehingga penyelenggara meminta agar karya-karya tersebut diturunkan dengan alasan tidak sesuai dengan tema pameran. Keputusan ini memicu reaksi keras dari publik, yang kemudian membagikan karya-karyanya secara daring sebagai bentuk perlawanan terhadap sensor seni.

Ketakutan terhadap Karya Seni?

Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar: Mengapa pemerintah atau institusi tertentu merasa terancam oleh karya seni? Seni lahir dari keresahan dan imajinasi seniman. Jika sebuah karya dianggap mengganggu, apakah yang menjadi masalah adalah seninya atau justru kebenaran yang terkandung di dalamnya?

Kemarin Yos Suprapto. Hari ini Sukatani. Esok, bisa saja seniman favoritmu, bahkan orang terdekatmu. Seperti kutipan lagu Mengadili Persepsi dari Seringai: “Dan kalau kita membiarkan saja, anak kita berikutnya.”

Baca juga: Kritik terhadap Kepolisian di Balik Permintaan Maaf Band Punk Sukatani

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *