CampusNet – Keputusan Presiden Korea Selatan, Yoon Suk Yeol, untuk memberlakukan status darurat militer memicu reaksi keras dari publik. Ribuan warga turun ke jalan, menuntut pencabutan keputusan tersebut serta mendesak Presiden Yoon mundur dari jabatannya.
Demonstrasi besar-besaran terjadi di berbagai lokasi, termasuk di depan Gedung Majelis Nasional Korea Selatan dan Lapangan Gwanghwamun di pusat kota Seoul. Para demonstran, dengan tegas menyerukan, “Tangkap Yoon Suk Yeol,” sembari membawa poster yang mendesak pengunduran diri sang presiden.
Pemerintah akhirnya mencabut status darurat militer ini pada tanggal 4 Desember 2024, setelah melalui tekanan dari parlemen dan anggota kabinet yang mendesak pembatalannya.
Namun, apa yang membuat rakyat Korea Selatan begitu marah atas kebijakan ini?
Trauma Daurat Militer Sejarah yang Membekas
Penyebab masyarakat Korea Selatan protes tentang aturan ini adalah sejarah kelam korea di tahun 1980-an. Pada tahun 1980, rezim otoriter Chun Doo Hwan pernah memberlakukan status darurat militer sebagai alat untuk menekan kebebasan sipil.
Kala itu, darurat militer memicu Pemberontakan Gwangju, sebuah perlawanan besar-besaran yang bertujuan mendemokratisasi Korea Selatan. Tragedi ini berakhir dengan ratusan korban jiwa dan menjadi salah satu babak kelam dalam sejarah negara tersebut. Kenangan ini terus menghantui masyarakat, membuat mereka sangat skeptis terhadap kebijakan serupa di masa kini.
Tuduhan Konsolidasi Kekuasaan
Selain itu, keputusan Presiden Yoon memiliki politik ketimbang alasan keamanan. Deklarasi ini, dianggap sebagai upaya mempertahankan kekuasaan di tengah meningkatnya kritik dan ancaman pemakzulan dari oposisi.
Menurut Iannone, langkah ini semakin memperkuat ketidakpercayaan publik terhadap niat Presiden Yoon, terutama dengan tuduhan bahwa ia mencoba mengonsolidasikan kekuasaan secara otoriter. Bahkan, beberapa tokoh dari partainya sendiri menyebut keputusan tersebut inkonstitusional.
Tuduhan Darurat Militer Sebagai Konsolidasi Kekuasaan
Selain trauma sejarah, keputusan Presiden Yoon memiliki motif politik ketimbang alasan keamanan. Deklarasi darurat militer yang bertujuan untuk mempertahankan kekuasaan di tengah meningkatnya kritik dan ancaman pemakzulan dari oposisi.
Menurut Iannone, langkah ini semakin memperkuat ketidakpercayaan publik terhadap niat Presiden Yoon, terutama dengan tuduhan bahwa ia mencoba mengonsolidasikan kekuasaan secara otoriter. Bahkan, beberapa tokoh dari partainya sendiri menyebut keputusan tersebut inkonstitusional.
Potensi Krisis Politik
Meski kemarahan publik meningkat, Iannone menilai kecil kemungkinan terjadi kudeta di Korea Selatan. Sebaliknya, ia memprediksi situasi ini lebih berpotensi menciptakan krisis politik atau institusional.
Namun, jika Presiden Yoon bersikeras mempertahankan status darurat militer, oposisi memiliki opsi untuk memulai proses pemakzulan sesuai Pasal 77 Konstitusi Korea Selatan. Pencabutan darurat militer pun dapat dilakukan oleh parlemen secara formal.
Langkah Presiden Yoon untuk mencabut status darurat militer memang menenangkan sebagian besar ketegangan. Namun, kontroversi ini meninggalkan tanda tanya besar tentang masa depan kepemimpinannya di Korea Selatan yang semakin terpolarisasi.