CampusNet – “Women Without Men” (1959) adalah sebuah karya sastra monumental dari Shahrnush Parsipur, penulis asal Iran, yang mengangkat tema patriarki, feminisme, dan perjuangan perempuan dalam masyarakat yang sangat konservatif. Novel ini bercerita tentang lima perempuan Iran yang berasal dari latar belakang berbeda, namun memiliki kesamaan: mereka semua berusaha melarikan diri dari tekanan sosial dan aturan patriarki yang membelenggu mereka.
Latar Belakang Women Without Men
Iran pada pertengahan abad ke-20 adalah sebuah negara yang terjebak di antara tradisi lama dan modernitas. Di tengah pergulatan politik dan sosial ini, perempuan sering kali menjadi korban. Dalam konteks ini, “Women Without Men” menggambarkan kehidupan perempuan yang tertindas oleh sistem patriarki yang mengatur setiap aspek kehidupan mereka, mulai dari keluarga hingga hubungan sosial.
Parsipur menggunakan pendekatan magis realistis untuk mengeksplorasi perjuangan perempuan melawan penindasan. Dalam novel ini, elemen-elemen magis seperti taman yang memiliki kekuatan penyembuhan dan pengalaman transformatif para tokoh menjadi simbol bagi kebebasan dan emansipasi.
Karakter dan Perjuangan Tokoh Women Without Men
Kelima tokoh perempuan dalam novel ini menghadapi perjuangan yang berbeda-beda:
- Zarrinkolah: Seorang pekerja seks yang memutuskan untuk meninggalkan profesinya setelah melihat pelanggannya berubah menjadi orang tak berwajah. Kisahnya menggambarkan trauma dan pencarian makna hidup di luar eksploitasi tubuhnya.
- Munis: Seorang perempuan yang memiliki keinginan untuk mengetahui dunia luar tetapi terkungkung dalam kehidupan rumah tangga yang konservatif. Perjalanannya mencerminkan kerinduan akan kebebasan intelektual.
- Faezeh: Seorang perempuan yang mendambakan pernikahan tetapi kemudian menemukan kekuatan dalam persahabatan dan solidaritas.
- Mahdokht: Karakternya memiliki obsesi dengan kemurnian dan akhirnya mengubah dirinya menjadi pohon, simbol kebebasan dari ikatan duniawi.
- Farrokhlaqa: Seorang janda kaya yang melarikan diri dari pernikahan yang tidak bahagia dan membangun taman sebagai ruang bagi perempuan lain untuk menemukan kebebasan.
Kritik Sosial dan Relevansi Modern
Melalui “Women Without Men,” Parsipur secara tajam mengkritik budaya patriarki yang menindas perempuan dan membatasi hak-hak mereka. Novel ini juga mengeksplorasi bagaimana solidaritas perempuan dapat menjadi cara untuk melawan sistem yang opresif. Meskipun telah ada lebih dari enam dekade yang lalu, isu-isunya tetap relevan di banyak negara, termasuk Indonesia, di mana perempuan masih sering menghadapi ketidakadilan gender.
Penerimaan dan Kontroversi
Saat pertama kali terbit, novel ini langsung dilarang di Iran karena menyinggung nilai-nilai tradisional dan agama. Shahrnush Parsipur sendiri mengalami penahanan akibat karya-karyanya yang kontroversial. Namun, di luar Iran, novel ini mendapatkan apresiasi luas sebagai karya feminis yang berani.
“Women Without Men” adalah sebuah karya sastra yang tidak hanya indah secara artistik tetapi juga penting secara sosial. Novel ini memberikan suara kepada perempuan yang selama ini terbungkam oleh patriarki dan menjadi inspirasi bagi pembaca di seluruh dunia untuk merenungkan pentingnya kesetaraan gender.