CampusNet – Tiga remaja di Sukabumi dan Sawahlunto… lalu seorang mahasiswa Universitas Udayana. Semuanya meninggal di usia yang seharusnya masih penuh mimpi.
Kabar duka ini mengguncang publik dan memunculkan pertanyaan besar: apa yang sebenarnya sedang terjadi pada remaja kita?
Dilansir dari BBC Indonesia, fenomena meningkatnya kasus bunuh diri di kalangan remaja menunjukkan tekanan hidup yang semakin berat. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat, setidaknya ada 25 kasus bunuh diri anak sepanjang tahun 2025. Sebagian besar disebabkan oleh perundungan, tekanan akademik, serta rasa gagal menghadapi ekspektasi.
Remaja dan Dunia yang Terlalu Kompetitif
Hidup remaja kini semakin kompetitif. Media sosial memperlihatkan standar kebahagiaan yang palsu: semua orang tampak sukses, bahagia, dan punya arah hidup yang jelas.
Di balik layar, banyak yang sebenarnya berjuang — tapi merasa tak boleh terlihat lemah.
Kondisi ini menciptakan persepsi bahwa hidup adalah zero-sum game: permainan di mana hanya ada pemenang dan pecundang.
Jika kamu tidak berada di puncak, berarti kamu gagal.
Dan di tengah tekanan akademik, ekspektasi keluarga, serta budaya “harus berhasil”, banyak remaja mulai kehilangan ruang untuk bernapas.
Dilansir dari BBC Indonesia, pakar psikologi menyebut bahwa otak remaja belum sepenuhnya matang dalam mengelola stres dan emosi. Artinya, tekanan sosial yang berat bisa dengan mudah menumpuk tanpa tersalurkan dengan sehat.
Bullying, Tekanan, dan Hilangnya Empati
Masalahnya bukan hanya dari sistem, tapi juga dari lingkungan sosial.
Bullying masih sering dianggap hal sepele — “cuma bercanda,” kata banyak orang.
Padahal satu ejekan bisa jadi percikan terakhir dari api stres yang lama terpendam.
Budaya kompetisi yang ekstrem juga mengikis empati.
Remaja tumbuh dalam dunia yang cepat menilai dan lambat memahami.
Akibatnya, banyak yang memilih diam, takut dihakimi, dan akhirnya merasa sendirian.
Padahal, menurut data yang dilansir dari BBC Indonesia, banyak kasus bunuh diri remaja diawali dari rasa tidak berdaya dan kesepian yang tak tertangani.
Hidup Tidak Harus Menang
Kita hidup di era yang sering kali lupa bahwa kalah bukan berarti gagal.
Hidup bukan sekadar tentang menang, melainkan tentang bertahan, belajar, dan tumbuh.
Kadang yang dibutuhkan remaja bukanlah motivasi untuk bangkit, melainkan ruang aman untuk didengar.
Sebuah ruang di mana mereka tidak perlu sempurna, tidak perlu selalu kuat, dan boleh merasa lelah.
Karena di balik setiap “aku baik-baik saja”, bisa jadi ada seseorang yang sedang berjuang agar tetap hidup.
Mari Jadi Bagian dari Solusi
Kita tidak bisa menghapus semua tekanan dunia, tapi kita bisa mulai dengan hal sederhana: mendengar tanpa menghakimi.
Memahami bahwa setiap orang punya batasnya masing-masing.
Dan bahwa hidup tidak harus menjadi zero-sum game.
Jika kamu sedang merasa tidak baik-baik saja, ingat — selalu ada jalan untuk mencari bantuan.
Hubungi Halo Kemenkes 1500567, atau cari teman yang bisa kamu percaya.
Kalah bukan akhir dari permainan, dan hidupmu tidak harus berhenti di sini.


