CampusNet – Di setiap tanggal 21 April, negara Indonesia memperingati momen Hari Kartini sebagai bentuk penghormatan terhadap perjuangan sosok perempuan. Raden Ajeng Kartini merupakan tokoh pahlawan yang memperjuangkan kesetaraan perempuan dan laki-laki di era kolonial. Kini, semangat perjuangan Kartini kembali mewarnai perjuangan perempuan dalam pengambilan peran di lini kehidupan.
Perjuangan Kesetaraan Tidak Harus dalam Ranah Publik
Dosen Sosiologi Universitas Airlangga, Claudia Andridho S.Ant., M.Sosio menyebut, di era modern saat ini, memaknai momen Hari Kartini berarti mewajibkan perempuan untuk memperkuat representasinya sebagai sosok yang berdikari.
“Adanya kecanggihan teknologi digital dan akses informasi lebih mudah, sebagai perempuan harus bisa memanfaatkan hal itu. Kita perlu memperluas spektrum kesempatan untuk menjadi perempuan berdaya,” kata Claudia dikutip dari laman resmi Unair, Senin, (21/4/2025).
“Kita perlu menemukan kesempatan-kesempatan di mana kita turut berkontribusi tidak hanya dalam sektor publik, tetapi juga dalam sektor privat,” tambahnya.
Pun begitu, Claudia juga menyoroti terjadinya pergeseran nilai gerakan kesetaraan gender. Yang mana, perjuangan kesetaraan tidak harus tentang ranah publik, tetapi juga ranah privat.
“Sebagai perempuan, juga keluarga, itu adalah sesuatu hal yang sangat positif dilakukan sebagai seorang perempuan. Jadi, jangan mengecilkan arti mereka yang juga bekerja di sektor privat,” urainya.
Perempuan Turut Memperjuangkan Modal
Dalam pandangan Pierre Felix Bourdieu, Dosen Sosiologi itu menegaskan perempuan perlu memperjuangkan empat modal, yakni ekonomi, sosial, budaya dan simbolik. Modal ekonomi mencakup akses sumber daya finansial, juga dalam bentuk relasi.
Modal berikutnya yakni modal budaya, termasuk dalam ranah pendidikan, keterampilan dan pengetahuan, serta modal simbolik termasuk pengakuan dan prestise legitimasi dari masyarakat.
Selain itu, kembali dikatakannya bahwa perempuan harus saling menghargai tindakan sesama perempuan. Saat melihat melalui media sosial misalnya, banyak yang menyayangkan ketika perempuan berkiprah atau memutuskan menjadi ibu rumah tangga, justru mendapat prasangka dari perempuan lain.
“Apalagi, sesama perempuan seharusnya bisa saling menghargai,” ungkapnya.
Sampai kini, perempuan masih menghadapi tantangan besar dalam hal kesetaraan. Claudia mengatakan, ada peran ganda yang masih dibebankan kepada perempuan.
“Ini terjadi ketika perempuan hendak berkiprah, mereka harus bertanggung jawab penuh atas kebutuhan domestik. Sehingga, perempuan harus memiliki manajemen waktu yang sangat baik,” tutur Dosen Sosiologi Unair tersebut.
Makna Momen Hari Kartini
Baginya, peringatan Hari Kartini yang ditandai dengan gerakan simbolik seperti seremonial, pemakaian kebaya serta ucapan melalui media sosial adalah cara mendasar dari pemaknaan momen Hari Kartini. Ia berharap, sivitas akademika juga menjalankan spirit gerakan emansipasi wanita.
“Perlu adanya usaha untuk menyadarkan, bahwa setiap orang mempunyai potensi, ketika kita berinteraksi dengan orang lain, usahakan tidak sekedar menyapa atau basa-basi. Namun, harus bisa memotivasi serta memberikan kredit atas orang lain dengan cara memberikan apresiasi,” tandasnya.
Baca Juga: Praktisi Pendidikan Komentari UU TNI