Kala Bencana, Jurnalis Muda Bisa Apa?

CampusNet – 10 Juli 2024, tepatnya hari Rabu, penulis melihat berita banjir dan tanah longsor yang terjadi Provinsi Gorontalo. Peristiwa yang cukup memberi perhatian atas kerugian dan korban jiwa yang terjadi pada masyarakat yang terdampak.

Teriring doa atas musibah yang terjadi di wilayah Provinsi Gorontalo.

Peran Media sebagai Sistem Siaran Informasi Tercepat

Peristiwa ini mendeskripsikan keberadaan media sebagai sistem siaran informasi tercepat untuk menjangkau penggunanya.

Mengutip kalimat yang tertera pada working paper lembaga Centers for Disease Control and Prevention [CDC][1]; one of your most important communication partners during an emergency is the media. Argumen Veil & Ojeda (2010)[2] menunjukkan bahwa, bingkai media dapat mempengaruhi cara seseorang memahami pengalaman kita dalam sebuah peristiwa krisis.

Peristiwa bencana ini memperkenalkan kita pada unfamiliar realities: realitas asing yang mampu untuk membangkitkan empati, pada akhirnya membentuk respon kolektif masyarakat dan berujung pada alokasi sumber daya saat menghadapi peristiwa bencana. Hal ini dapat diidentifikasi sebagai praktik komunikasi krisis yang dilakukan oleh jurnalis berdasar pada strategi komunikasi yang efektif.

Bersama dengan penggunaan media, jurnalis dapat memberikan potret suatu wilayah dengan potensi ancaman dan bahaya yang terjadi; sehingga terciptanya hubungan emosional yang membuat pembaca dapat mengidentifikasi individu atau komunitas yang terkena dampak bencana.

Penulis mengutip tulisan Prof. Nunung Prajarto[3], bahwa: heroisme media dan pekerjanya tidak berhenti pada pelaksanaan tugas jurnalistik standar yang harus dilakukan, namun mencakup tugas peliputan dengan tuntutan akurasi, profesionalisme dan etika, sekaligus upaya untuk memikirkan keamanan diri dan jiwanya dalam situasi yang bisa menghadirkan trauma.

Jurnalis Muda Perlu Andil pada Peristiwa Bencana

Sebagai respon reaktif dalam bertindak siaga dan mobilisasi bantuan dengan mudah dan cepat. Langkah esensial yang perlu dipahami sebagai improvement skill untuk melakukan pemberitaan krisis dan siaga bencana adalah sebagai berikut:

  • Pertama, usahakan untuk terus memperbaharui informasi bencana, tidak lupa gunakan tools fact-checking untuk meminimalisir berita hoax.
  • Kedua, jurnalis muda perlu membangun relasi dengan komunitas, relawan, instansi dan stakeholders untuk mengetahui perkembangan proses penanggulangan bencana.
  • Ketiga, buatlah pra-laporan atas hasil observasi dalam peristiwa bencana, diharuskan mengawali pelaporan dengan melakukan aktivitas penyelidikan.
  • Keempat, buatlah protokol keamanan bencana berdasar pada pedoman BNPB.
  • Kelima, situasi saat bencana, dapat menggambarkan kondisi ketangguhan masyarakat. Pelajari bentuk resiliensi kepada masyarakat. Perlunya Netralitas jurnalis agar mampu memahami sudut pandang individu, kelompok dan komunitas yang terdampak di wilayah bencana.
  • Keenam, sebarkan pesan kepada masyarakat untuk dapat beradaptasi atas peristiwa bencana.
  • Last but not least, jurnalis harus mengasah diri dengan pengetahuan agar menyajikan berita yang komprehensif dan memiliki nilai praktis.

Orientasi Jurnalis Harus Berdasarkan Perspektif Mitigasi Bencana

Mitigasi adalah serangkaian proses rehabilitasi untuk mengurangi dampak bencana baik melalui bentuk mitigasi struktural maupun non-struktural.

Mitigasi struktural adalah usaha mengurangi bencana melalui pembangunan sarana dan prasarana fisik dengan rekayasa teknis, yakni prosedur perancangan struktur bangunan berdasar pada perhitungan karakteristik bencana. Misalnya, early warning system atau alat pendeteksi gunung berapi, tsunami dan rumah tahan gempa.

Mitigasi non-struktural melalui pembentukan peraturan oleh pemerintah di daerah rawan bencana. Tujuannya agar masyarakat tetap mampu berkegiatan dan beraktivitas tanpa adanya rasa takut yang berlebihan terhadap risiko bencana.

Jurnalis muda dapat membantu upaya mitigasi untuk meminimalisir dampak akibat peristiwa bencana; sebagai knowledge brokers bagi instansi, LSM dan stakeholders dalam membuat perencanaan pembangunan. Serta mampu menyebarkan informasi untuk meningkatkan kesadaran dan pengetahuan masyarakat. Upaya ini dapat bisa dengan bantuan platform media yang menawarkan keunggulan dalam eksplorasi berita.

Media : Emergency Communication

Salah satu fasilitas media adalah menawarkan user-generated content secara real time dan sebagai Seperti platform X dan Instagram, analisis tweet dan postingan menjadi kata kunci yang dapat mengidentifikasi daerah rawan bencana, sebagai alternatif komunikasi darurat kepada individu yang terdampak, melalui fitur hashtag dan geolokasi. Hal ini dapat memudahkan penyebaran pesan.

Keberadaan media menciptakan situational awareness; memungkinkan koordinasi upaya respons kepada masyarakat dalam bentuk dukungan emosional, berbagi sumber daya, cara pemulihan, serta fasilitas ketahanan pasca bencana.

Pada akhirnya, keberadaan jurnalis muda pada peristiwa bencana sedikit-banyak berpengaruh untuk menciptakan ketangguhan masyarakat. Hal ini merupakan modal penting, proses pembelajaran untuk membangkitkan suasana heroik: yakni kondisi bertahan dan menghadapi tantangan masyarakat yang mengacu pada aspek fisik, emosional dan mental.

[1] CERC: Working with the Media – https://emergency.cdc.gov/cerc/
[2] Penelitian pada : https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/10510974.2010.491336
[3] Prof. Nunung Prajarto adalah dosen di Departemen Ilmu Komunikasi UGM.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *