CampusNet â Seringkali terbesit tanya di dalam benak, âUntuk apa ya jadi mahasiswa yang kritis? Tidak banyak berpengaruh jugaâ. Namun kenyataannya, terdapat banyak sekali mahasiswa yang bersuara dengan lantang, menulis artikel di media, hingga turun ke jalan untuk menyampaikan aspirasinya.
Hal tersebut merupakan gambaran dari dua jenis mahasiswa saat ini, yaitu terdapat mahasiswa yang kritis dengan kecenderungan lantang untuk bersuara dan terdapat juga mahasiswa yang apatis dengan kecenderungan diam tak berdaya. Lalu, yang manakah yang sebenarnya lebih baik? Yuk kita bahas!
Lantang Bersuara, Inilah Mahasiswa Kritis
Mahasiswa kritis adalah jenis mahasiswa yang tidak hanya datang ke kelas, duduk, mendengarkan penyampaian materi, lalu langsung beranjak pulang setelah kelas selesai. Namun mahasiswa kritis ini biasanya mereka turut aktif dalam berdiskusi di ruang kelas, menanggapi isu – isu sosial, dan lantang bersuara. Aktif dalam ruang diskusi hingga menyampaikan aspirasi tidak menjadi tolak ukur bahwa mereka benar, namun hal tersebut menunjukkan bahwa mereka memiliki kesadaran dan kepedulian terhadap isu – isu sosial yang sedang terjadi di masyarakat, atau bahkan dalam lingkup terkecil yaitu di dalam kampus.
Menjadi kritis bukan hanya tentang turun ke jalan mengikuti demonstrasi. Melainkan tentang berpikir, menganalisis, dan juga bertindak ketika melihat terjadinya hal yang tidak sesuai dengan norma dan aturan.
Menjadi mahasiswa yang kritis dapat dimulai dari ruang kelas. Ruang kelas sangat terbuka untuk melakukan diskusi. Kita dapat bertanya – tanya atau bahkan mengkritisi teori – teori yang pernah diciptakan sebelumnya, agar kita dapat memahami dengan tepat bagaimana implementasi atau kegunaan dari teori tersebut dalam kehidupan sehari – hari, yang kemudian berkaitan dengan isu – isu sosial atau segala aspek dalam kehidupan bernegara. Semakin banyak kita bertanya, maka akan semakin banyak pula kita paham akan suatu perkara.
Apabila ruang kelas dirasa masih kurang cukup luas jangkauannya, maka kita bisa menggunakan media. Media merupakan wadah bagi kita untuk bersuara. Media dapat berupa sosial media, blog pribadi, hingga media komersial dan konvensional lainnya. Di media, kita dapat bersuara mengenai apa yang menjadi concern kita, hingga mengurai solusi alternatifnya.
Kemudian ketika media masih kurang besar agar suara kita dapat didengar, umumnya kita akan melakukan kritik dengan melakukan demonstrasi. Namun demonstrasi seharusnya merupakan langkah terakhir untuk bersuara, karena demonstrasi merupakan aksi nyata turun ke jalan untuk menyampaikan aspirasi dan bersuara.
Menjadi mahasiswa yang kritis memiliki banyak manfaat baik di dunia perkuliahan maupun kehidupan setelahnya. Diantaranya yaitu tidak mudah untuk di setir oleh suatu kelompok yang berkepentingan. Karena terbiasa untuk mengkritisi atau mempertanyakan urgensi dari keputusan dan atau kebijakan yang diambil oleh kelompok yang berkepentingan tersebut.
Cenderung Memilih Diam, Inilah Mahasiswa Apatis
Menjadi mahasiswa yang kritis adalah hal baik, lantas apakah menjadi mahasiswa apatis adalah hal yang buruk? Jawabannya adalah belum tentu. Mahasiswa apatis ini memiliki kecenderungan untuk diam seolah – olah tak berdaya. Bersikap apatis bukan berarti tidak concern dengan isu – isu yang sedang beredar di tengah masyarakat. Hanya saja dalam sebagian kasus, mahasiswa apatis ini sedang fokus dengan urusan pribadinya seperti bekerja atau membantu keluarga. Mahasiswa apatis memang cenderung diam, namun mereka tetap mempunyai sikap atau prinsip. Umumnya berprinsip akan bersuara apabila suatu keputusan atau kebijakan dapat mempengaruhi hidup mereka.
Yang kemudian menjadi masalah adalah apabila sikap apatis ini menjadi ketidakpedulian total terhadap apa yang terjadi di sekitar. Sikap ini berbahaya, karena saat semua orang memilih untuk diam, ketidakadilan akan tumbuh dengan subur. Dan saat hal itu terjadi, maka tak akan ada yang tersisa untuk melawan suatu keputusan atau kebijakan yang merugikan banyak pihak.
Kesimpulan
Kritis bukan berarti galak, namun cenderung bersuara dengan lantang apabila terjadi ketidaksesuaian antara realita dengan apa yang seharusnya terjadi. Apatis tidak selalu acuh tak acuh terhadap keadaan, melainkan memiliki sikap untuk menahan diri dan bersuara ketika diperlukan.
Lalu apakah lebih baik menjadi mahasiswa yang kritis atau mahasiswa yang apatis? Maka jawabannya adalah jadilah mahasiswa yang sadar. Tidak perlu menjadi terlalu kritis, dan jangan sampai menjadi sangat apatis. Karena mahasiswa juga membutuhkan ruang untuk perkembangan.
Di antara menjadi kritis dan apatis, pilihan terbaiknya adalah menjadi mahasiswa yang sadar. Sadar akan hak, sadar akan kewajiban, serta sadar bahwa suara kita berarti dan dapat membuat perubahan yang signifikan. Mahasiswa adalah agen perubahan, dunia tidak akan berubah apabila kita semua memilih untuk menutup mata dan telinga. Apabila generasi muda seperti kita tidak ingin memulai perubahan, lantas siapa yang dapat diandalkan.
Baca juga: Menjadi Mahasiswa yang Berpikiran Kritis : Berikut Tips nya