Pemerintahan, Janji Manis, dan Buku Kecil Tipuan

RUU

CampusNet – Flicking through a little book of sex tips—membolak-balik buku kecil penuh tipuan, seperti janji-janji pemerintah yang tersusun rapi di manifesto kampanye. Kala itu, mereka datang dengan serangkaian kata-kata manis, penuh semangat, menjanjikan perubahan yang nyaris terdengar seperti revolusi. Tapi seiring berjalannya waktu, janji-janji itu tak lebih dari sekadar catatan kosong dalam buku kecil itu—sama menariknya di awal, tapi tak pernah benar-benar berfungsi.

Remember when the boys were all electric?—ingatkah ketika para pemimpin tampak penuh gairah, energik, seakan siap menyalakan perubahan? Kala kampanye, mereka berkoar-koar soal reformasi, pemberantasan korupsi, dan kesejahteraan rakyat. Tapi kini, setelah kekuasaan ada di tangan, semangat itu menguap. Yang tersisa hanyalah formalitas birokrasi, kepentingan oligarki, dan serangkaian kebijakan yang lebih sering menguntungkan segelintir orang daripada rakyat banyak.

RUU: Solusi atau Beban Baru?

Rancangan Undang-Undang (RUU) yang terus bermunculan pun tak lebih dari deretan pasal yang sering kali lebih membebani rakyat ketimbang memberikan solusi nyata. Alih-alih menjadi produk hukum yang melindungi, banyak di antaranya justru menyamarkan kepentingan tertentu di balik dalih kemajuan. Beberapa RUU tampak menjanjikan dalam teks, tetapi dalam praktiknya menyisakan banyak celah yang memungkinkan eksploitasi dan ketimpangan hukum.

Kritik yang Sebagai Bahan Redam

Ketika kritik muncul, respons yang sering kali minim substansi. Proses legislasi yang seharusnya transparan justru terpenuhi agenda-agenda tersembunyi yang membingungkan masyarakat. Bahkan, ketika ada suara protes, mereka yang bersuara justru sering kali dikriminalisasi atau diredam dengan berbagai cara.

Siklus Lima Tahunan yang Berulang

Setiap lima tahun tersaji ilusi kebaruan, bagaikan mengganti sampul buku yang isinya tetap sama. Mereka menjual optimisme seperti pedagang keliling yang menjajakan mimpi, namun saat tiba waktunya menepati, mereka justru sibuk mempertahankan kursi kekuasaan. Bukannya membawa perubahan, mereka justru terjebak dalam siklus lama: janji, lupa, janji lagi.

Politik sebagai Hiburan

Di dunia politik yang semakin mirip panggung hiburan, para pemimpin tahu betul bahwa retorika lebih penting daripada aksi. Mereka belajar cara menggiring opini, membentuk persepsi, dan membelokkan perhatian. Sementara itu, kesejahteraan yang dijanjikan tetap berada dalam bayang-bayang, hanya menjadi wacana tanpa realisasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *