CampusNet – Pemerintah akan mendirkan dua jenis sekolah dengan perbedaan segmentasi, yaitu Sekolah Garuda Internasional dan Sekolah Rakyat. Wacana pendirian kedua sekolah ini menuai banyak perhatian, termasuk dari Dosen Administrasi Publik Universitas Airlangga, Agie Nugroho.
Agie menyebut, wacana pembentukan Sekolah Garuda Internasional dan Sekolah Rakyat secara tidak langsung terlihat adanya disparitas pendidikan yang sangat lebar, sehingga dapat terpetakan sumber daya manusia yang dappat ditempatkan di institusi pendidikan tertentu.
Pada dasarnya, wacana pemerintah untuk mendirikan Sekolah Garuda didesain untuk diikuti peserta yang unggul. Sementara, sekolah rakyat mungkin mengikuti masyarakat yang belum memenuhi akses pendidikan yang memadai.
“Saya khawatir, dengan adanya dua dikotomi ini akan semakin lebar signifikansi pendidikan yang diterima oleh masyarakat, pemerintah seharusnya bisa fokus pada upaya untuk menyamakan kualitas pendidikan. Termasuk menyediakan roadmap pendidikan,” terang Agie dilansir dari laman UNAIR, Rabu, (30/4/2025).
Mencegah Adanya Bahan Percobaan
Ketika menteri pendidikan berganti, kurikulum yang sudah berjalan serta upaya yang hendak dilakukan bisa berubah dengan drastis. Dan, semuanya telah dimulai dari awal lagi. Tentu, ini menjadi catatan kritis untuk mencari titik temu dari kurikulum yang sedang berjalan dan jangan sampai siswa dijadikan bahan percobaan.
Kini, upaya pemerintah untuk membangun sekolah tentu memerlukan anggaran yang sangat besar. Meski instansi pendidikan telah tersedia, namun masih harus dipersempit disparitasnya. Sekolah dengan gedung yang tidak memadai misalnya, atau guru yang harus meningkatkan kompetensinya.
“Itu yang seharusnya menjadi konsen pemerintah, bukan membangun merancang pendirian wacana sekolah yang baru,” ujarnya.
Wacana Sekolah Bukan Alat Kapitalisasi
Untuk itu, pendidikan tidak bisa jika hanya dilihat dari segi kapitalisasi. Pada beberapa tahun terakhir, pendidikan justru malah berfokus ke industri. Sehingga, pendidikan seharusnya membebaskan dan tidak dijadikan alat untuk melawan perbedaan kelas.
Lebih lanjut, di era teknologi sekarang, guru harus bisa mengajarkan value maupun pemikiran yang tentu tidak mudah tergantikan oleh mesin. Oleh karena itu, butuh roadmap yang bisa melakukan revitalisasi pendidikan secara kurikulum maupun dari peningkatan guru.
Di akhir, bagi masyarakat yang kurang mampu, alangkah baiknya anggaran lebih diprioritaskan untuk beasiswa anak-anak miskin. Jika dibandingkan dengan membuat sekolah baru, langkah ini jauh lebih konkrit. Namun, perlu diingat bahwa semua yang diterbitkan harus berbasis pada data kemiskinan yang benar-benar mutakhir.
Baca Juga: Efisiensi Anggaran Pendidikan