CampusNet – Belakangan ini, marak terjadi kasus kekerasan seksual yang tengah mengemuka di publik. Tidak hanya itu, pelaku kekerasan seksual juga berasal dari figur panutan yang dianggap berpendidikan dan berintegritas tinggi.
Akibat dari kasus ini, Ketua Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Perguruan Tinggi (Satgas PPKPT) Unair, Prof Dra. Myrtati Dyah Artaria MA, PhD merespon pelaku cenderung dari kalangan figur panutan memang sudah biasa terjadi.
“Jika figur panutan menjadi pelaku kekerasan seksual, sudah kami aware dari awal sehingga bukan heran bagi kami yang telah berkecimpung dalam isu ini,” kata Prof Myrta dalam keterangan resmi dalam laman Unair, dilansir Minggu, (4/5/2025).
Adanya Penyelewengan Kekuasaan
Kejadian kekerasan seksual, biasanya berkaitan dengan dengan suatu karisma pesona. Baginya, ada daya tarik secara tidak langsung kepada seseorang yang berkedudukan tinggi, sehingga orang di sekitar merasa kagum, ingin belajar hingga bangga ketika bisa dekat dengannya.
“Itu natural di lingkungan kita, hal seperti ini pasti ada. Saat itu terjadi, apakah orang itu bisa menahan godaan atau lebih jauh lagi, justru malah menggunakan kesempatan untuk melakukan pelanggaran,” tegasnya.
Sosok figur yang mempunyai kedudukan tinggi lebih tentu mudah mendapatkan keleluasaan. Tidak hanya itu, kekerasan seksual kerap melibatkan banyak hal, termasuk penyelewengan kekuasaan hingga posisi.
Dan, masih kuatnya budaya patriarki dan ketimpangan gender, lemahnya etika atau pendidikan karakter sejak dini, sampai minimnya pengawasan. Lebih lanjut, akan ada potensi trauma mendalam atau gangguan psikologis yang timbul dari sosok pelaku.
“Kasus sering mampir ke kami dan saya amati, para pelaku mencari korban yang mempunyai trauma masa lalu, sehingga menjadikan mereka lebih mudah dimanipulasi secara emosional,” tambahnya.
Korban Merasa Khawatir untuk Lapor
Ketika terjadi kekerasan, Prof Myrta memberikan sorotan soal ketakutan korban dalam melaporkan pelaku yang mempunyai posisi sosial tinggi, bahkan dikenal menjaga citra diri. Sehingga, korban sering merasa gentar untuk melapor karena bisa saja dianggap memfitnah atau akan mendapatkan serangan balik dari pendukung pelaku.
Pun begitu, ada juga stigma sosial, malu hingga dicap tidak suci serta mengundang. Sehingga, akan ada celah yang mungkin disalahkan, terlebih jika korban mungkin memiliki ketergantungan ekonomi maupun akademik pada pelaku,” terang Dosen Program Studi Antropologi tersebut.
Kasus yang Viral Akan Merugikan Korban
Berkaitan dengan kasus yang terekam kemudian menjadi viral di media sosial, ia menilai hal itu justru banyak merugikan korban. Sebab, viralnya kasus kekerasan itu akan memberi dampak buruk yang cukup besar. Meski aparat akan lebih cepat dalam mengambil tindakan, namun korban bisa mendapat ancaman, serangan ballik sampai mengalami kondisi mental yang buruk.
“Kita tidak pernah tahu respons netizen dan pelaku bisa menggunakan buzzer untuk menyerang balik,” tuturnya.
Tekankan Pentingnya Peranan Kolektif
Untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap institusi dan profesi yang tercoreng akibat kasus itu. Prof Myrta menegaskan pentingnya peran secara kolektif (kebersamaan).
“Dengan memulai pendidikan karakter sejak dini, masyarakat, lembaga dan individu harus bekerja sama untuk membangun budaya saling menghormati dan menghargai hak asasi manusia,” beber dia.
Meski begitu, Prof Myrta turut memberikan apresiasi terhadap keberadaan kebijakan, bantuan layanan hingga pendampingan Satgas PPKPT Unair sebagai bentuk dukungan institusional progresif.
Akan tetapi, tambahnya, tetap saja ada tantangan besar pada keberanian korban untuk berbicara serta kepekaan publik dalam memberikan dukungan yang aman, juga tidak menyudutkan korban.
Baca Juga: Soal Kasus Kekerasan Seksual, Program PPDS Harus Dievaluasi